Sarihon Ari Pangapudian



“Aku, kalau sampai waktuku…” 

Diantara kita barangkali sudah pernah mendengar penggalan puisi ini. Pertama saya mendengar puisi ini saat belajar puisi pada Pelajaran Bahasa Indonesia waktu SD. Kalimat tersebut merupakan penggalan dari puisi yang sangat terkenal, “Aku” oleh Chairil Anwar; Anak Medan kelahiran 26 Juli 1922 yang menjadi pelopor Angkatan ’45 puisi modern Indonesia. Puisi tersebut menggambarkan keinginan seseorang agar hidupnya tidak siasia, dan permohonanya kepada Tuhan bilamana kematian menghampirinya. Sampai pada akhir puisi … “Aku mau hidup seribu tahun lagi!” Terdapat kesan yang sangat memotivasi untuk menyemangati hidup. Thema puisinya mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme. Tercatat ada puluhan puisi yang pernah ditulis oleh Chairil Anwar.

Mungkin dari kita sedikit yang tahu bahwa Chairil Anwar meninggal pada usia yang relative muda, yakni pada usia 26 tahun. Kehidupan bukanlah masalah panjang atau pendeknya umur manusia, tetapi lebih pada bagaimana hidup kita berarti buat yang lain. Walau demikian tidak ada diantara kita yang tidak menginginkan umur yang panjang.
Berapakah umur yang panjang itu? Mari kita coba telusuri di Alkitab Kejadian 5:1-32 kita bisa menemukan umur manusia sampai 969 tahun, yaitu Metusala. Masih mimpi untuk hidup selama-lamanya? Ternyata kedepannya tidak akan ada lagi manusia yang akan hidup memiliki umur sepanjang itu. Seperti yang sudah ditegaskan pada Alkitab, sbb.:
Maka berkatalah TUHAN, "Aku tidak memperkenankan manusia hidup selama-lamanya; mereka makhluk fana, yang harus mati. Mulai sekarang umur mereka tidak akan melebihi 120 tahun." (Kejadian 6:3)
Sesungguhnya, tidak akan ada kehidupan bilamana tidak ada kematian; ini merupakan sebuah aksioma kehidupan. Diantara kita jarang menemukan orang yang berani mengatakan “Saya sudah siap mati?” Hampir setiap orang akan mengatakan “Saya belum siap untuk mati!” selanjutnya, kapankah kita siap untuk mati? Adalah Sr. Rosemary Smith, OSF yang menyatakan:
“Don’t worry; I’ve been living my whole life preparing for death that I may see Jesus. Perhaps this is my time, and I am ready.”

Saya coba menerjemahkan sbb.: “Jangan khawatir; sepanjang hidupku aku telah mempersiapkan diri untuk mati, agar aku dapat melihat Yesus. Mungkin ini saatnya bagiku, dan aku sudah siap.”

Terlepas dari keinginan manusia untuk berumur panjang, manusia juga menginginkan agar selalu eksis didalam komunitasnya. Didukung dengan sarana dan fasilitas social media saat ini, manusia dengan mudah “update status” ataupun menyebarkan informasi ke dalam komunitasnya. Efek social media saat ini sudah merambah ke semua lapisan masyarakat. Sekarang orang akan malu bila tidak memiliki account Facebook, Instagram, TikTok, Twitter, dll.; katanya ‘tidak gaul’. Selanjutnya kita akan disibukkan untuk selalu “update status” setiap saat, dan kitapun terlena dan fokus untuk kesenangan sendiri dan egoisme pribadi; ironisnya, banyak yang memanjatkan doanya melalui Social Media.


Lalu bagaimana updated status bilamana kita sudah meninggal dunia? Sepintas hal itu adalah mustahil
--TIDAK BISA-- dimana untuk updated status pada Social Media harus dilakukan sendiri oleh pemilik account. Tapi tunggu dulu, kita tidak perlu khawatir, saat ini ada layanan ter anyar setelah Social Media yang dikenal dengan layanan "If I Die" (Facebook). Fasilitas yang disiapkan macam-macam, kita bisa meninggalkan pesan untuk cucu kita 20 tahun ke depan supaya jangan lupa makan siang. Kita bisa mengucapkan selamat ulang tahun untuk yang kita kasihi, nah… enak bukan?

Tapi tunggu dulu, bagaimana kita akan makan bersama atau pergi ke gereja dengan yang kita kasihi? Bagaimana anak cucu kita berinteraksi secara fisik dengan kita?
 

Bersambung….

 

Tudia Ho dung Mate Ho?” 
 
Tudia ho dung mate ho, alusi ma, alusi ma!
Jempek tingkim ujung na ro, tu dia ho dung mate ho?
Dung mate ho … dung mate ho … sai pingkir ma, tudia ho!
 
Buku Ende HKBP No. 528






No comments: