Crime Of Passion, Kekejian Dibalik Pembunuhan

Lebih dari separuh kasus pembunuhan yang melibatkan kaum homoseksual dimutilasi. Pelaku umumnya menusuk korban lebih dari 10 kali. Kasus dilakukan secara spontan terkait persoalan pasangan seks. Apakah ini menunjukkan perilaku sosial kaum homoseksual lebih kejam dari perilaku masyarakat heteroseksual?


Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Komisaris Besar Carlo Brix Tewu, Rabu (16/7) malam, mengatakan, lebih dari separuh kasus pembunuhan yang melibatkan homoseks berakhir dengan mutilasi. Kasus umumnya dilakukan secara spontan dan terkait dengan persoalan pasangan seks. ”Angkanya saya punya, tetapi tidak di tangan saya sekarang. Jadi saya sebut saja, lebih dari separuh berakhir mutilasi,” tuturnya.

Kepala Satuan Kejahatan dengan Kekerasan Ajun Komisaris Besar Fadhil Imran menambahkan, Kamis siang, korban sekurangnya ditikam 10 kali. ”Korban tewas Heri Santoso (40) misalnya, ia ditikam tersangka Ryan (Verry Idham Henyaksyah, 30) dengan sebelas kali tikaman. Juga pelaku dewasa dalam kasus sodomi anak-anak di bawah lima tahun yang pernah saya tangani. Tersangka tega menikam korbannya yang masih kecil dengan 10 kali tikaman hanya karena si anak yang sudah lama disodomi hari itu menolak disodomi,” papar Fadhil.

”Pelaku seolah ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa ia benar-benar marah,” katanya. Menurut Fadhil, dalam kasus pembunuhan yang dilakukan masyarakat heteroseksual, pelaku cukup menikam korban sekali hingga dua kali, tanpa atau dengan mutilasi.

Heri dibunuh Ryan di kamar 309A Blok C Margonda Garden Residence, Depok, Jumat (11/7) pukul 20.00. Ryan membunuh Heri setelah Heri menawar Noval (Novel Andrias), pacar Ryan. Ryan tersinggung. Heri ditikam 11 kali. Mayatnya dipotong tujuh bagian, disimpan dalam travel bag, koper, dan sebuah tas plastik, lalu dibuang ke dua lokasi di tepi Jalan Kebagusan Raya, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu subuh.


"Crime of Passion"

Prof Dr Marjono Reksodipuro, mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), yang dihubungi, Kamis, mengatakan, identifikasi kasus dan pelaku yang disampaikan Carlo dan Fadhil belum menunjukkan kaum homoseksual lebih kejam dari masyarakat yang heteroseksual. Terkesan menjadi lebih kejam karena umumnya kalangan homoseks meledak dalam basis crime of passion dengan latar belakang yang sama, soal pasangan seks.

Marjono mengatakan, basis kejahatan masyarakat heteroseksual lebih beragam dan latar belakang atau motifnya pun bermacam-macam. Itu sebabnya, persentase rangkaian kejahatan keji yang dilakukan masyarakat heteroseksal lebih kecil dibandingkan total kejahatan yang mereka lakukan. Kejahatan homoseks yang muncul ke publik hanya rangkaian kejahatan keji yang nyaris melulu menyangkut pasangan seks. Timbul kemudian, citra kaum homoseks itu umumnya keji.

”Padahal, kekejian itu hanya sebatas menyangkut persoalan pasangan seks,” kilah Marjono. Menurut dia, crime of passion adalah ledakan kemarahan yang membabi buta karena merasa terhina dan cemburu yang membuat pelaku membunuh atau menganiaya berat. ”Biasanya berlangsung secara spontan, tidak terorganisir, dan terencana. Oleh karena itu, para pelaku umumnya terjerat Pasal 338 atau 339 KUHAP,” kata kriminolog UI, Prof Dr Adrianus Meliala, yang dihubungi terpisah.

Pada kaum homoseksual, lanjut kriminolog UI lainnya, Prof Dr Ronny Niti Baskoro, crime of passion bisa dipicu unsur lain, yaitu unsur ketakutan kehilangan peran karena pasangannya terancam hilang. Guru besar Fakultas Psikologi UI Prof Dr Sarlito Wirawan, Adrianus, dan Marjono mengakui, rendahnya populasi kaum homoseksual menyebabkan kalangan ini mudah mengalami distres, mudah panik. Crime of passion di antara homoseks terjadi lebih keras karena berlangsung di antara para pria.

Menurut mereka, asmara yang tumbuh di antara mereka adalah cinta platonis, mencintai untuk menguasai dengan pendekatan. ”Loose-loose solution dan bukan win-win solution. Dengan kata lain, dalam kasus-kasus perebutan, perselingkuhan, dan pertengkaran asmara, kaum homoseks umumnya berprinsip, 'kalau saya tidak dapat, maka kamu pun tidak akan mendapat dia'. Interaksi berlangsung agresif saling menghancurkan,” ungkap Sarlito.

Peran permanen

Menurut dia dan Adrianus, dalam menjalin asmara, kaum homoseks tidak mengenal konsep belahan jiwa. Mereka hanya mengenal konsep pembagian peran yang permanen antara ”perempuan” dan ”pria”. Peran tersebut mereka jalankan sampai ajal menjemput.

Fungsi-fungsi dalam organ tubuh pria dan perempuan tidak penting bagi mereka. Yang mereka utamakan pembagian peran pria dan perempuan. Itu bedanya homoseks dengan waria. Waria adalah pria yang ingin menjadi perempuan dengan mengubah keadaan tubuhnya. Dari tubuh pria menjadi tubuh yang mirip perempuan. Dia lantas membesarkan dada menjadi payudara dan mengubah alat kelaminnya.

Sepengamatan Fadhil, di kalangan kaum homoseksual peran itu cukup ditandai dengan ada tidaknya bulu-bulu di sekitar genital mereka. ”Yang berperan perempuan mencukur habis bulu-bulu mereka, sedang yang berperan pria tidak. Saya melihat itu pada jenazah mereka. Yang berperan perempuan melakukan oral, sedang yang berperan pria melakukan sodomi,” ungkapnya. Fadhil sependapat dengan Sarlito dan Adrianus, pembagian peran itu bersifat permanen.

”Saya mendapatkan pengakuan itu ketika menyidik para tersangka pembunuh yang homoseks,” ucapnya. Kepada wartawan, tersangka Ryan pun mengaku sudah lima tahun ia mengenal dekat Heri. Tetapi selama itu, keduanya tidak berhubungan intim karena keduanya berperan sebagai perempuan.

Pembagian peran ini, kata Adrianus dan Sarlito, menentukan eksistensi setiap homoseks. Jika salah seorang dari pasangan homoseks hilang (lari, selingkuh, kembali menjadi pria sesuai fungsi tubuhnya, atau meninggal), maka homoseks lainnya mengalami krisis peran, krisis eksistensi. Itulah yang membuat tersangka Ryan memutilasi Heri. Ryan tidak ragu menghabisi Heri karena Ryan merasa perannya sebagai perempuan terancam oleh ucapan Heri.

Sarlito mengatakan, sebagai kelompok minoritas yang terus merasa terancam, kaum homoseks bisa cepat mengatasi berbagai persoalan eksternal mereka karena ada perasaan senasib yang harus mereka tanggung bersama. Oleh karena itu, jarang muncul kejahatan yang melibatkan homoseks karena motif ekonomi atau motif eksternal lainnya. ”Tapi begitu menyangkut persoalan internal seperti persoalan peran tadi, mereka akan bersikap loose-loose,” tutur Adrianus.

Lebih keji

Kriminolog UI lainnya, Prof Dr Ronny Niti Baskoro, mengutip sejumlah hasil riset internasional bahwa kaum homoseks lebih keji ketika meledak ketimbang kaum lesbian. ”Bukan hanya karena yang satu pria dan yang lain perempuan, tetapi juga karena pasangan homoseks lebih terbuka, lebih loyal dan setia, serta berbasis pada kasih sayang pasangan ketimbang kebutuhan seksual mereka. Bisa dimaklumi bila kemarahan mereka menjadi seperti amuk bila dikhianati pasangannya atau pasangannya direndahkan, ” paparnya.

Kaum lesbian umumnya, lanjut Ronny, berbanding sebaliknya. Mereka lebih sebagai pasangan yang tertutup, lebih mengutamakan kepuasan seksual ketimbang kesetiaan, lebih mudah kembali menjadi perempuan sesuai organ tubuhnya, atau kembali lagi menjadi lesbian ketika menemukan pasangan yang cocok.

”Karena sifat komunitasnya itu, kaum lesbian lebih mudah menjadi biseks ketimbang kaum homoseks. Kaum homoseks yang menikah lain jenis, ia menikah hanya sebagai kedok saja. Dia tetap homoseks dan bukan biseks,” tegas Ronny.

Dikutip dari Kompas.Com, Selasa, 22 Juli 2008 | 06:19 WIB

No comments: