Abu Nawas Ketemu Kabayan

Pagi itu, waktu dimulainya seminar internasional matematika yang diadakan di salah satu universitas terkenal di Indonesia. Para pemakalahnya datang dari berbagai penjuru dunia. Matematikawan-matematikawan kelas dunia hadir di sana. Ada yang dari Amerika, Eropa, Timur tengah, Asia Selatan, Asia Timur, Afrika, Australia, dan tentunya tuan rumah Indonesia. Tanpa mengurangi keseriusan jalannya seminar, Abu Nawas yang biasa dikenal sebagai ahli sastra yang terkenal kecerdikan dan kejenakaannya, yang berasal dari timur tengah turut diundang, agak aneh memang. Begitu pula Kabayan, tokoh legendaris lokal asli Jawa Barat yang terkenal lucu dan cerdik pun ikut berpartisipasi sebagai pemakalah dalam seminar tersebut. Saya juga sebagai peserta agak bertanya-tanya, apa yang mau disampaikan oleh kedua tokoh jenaka tersebut dalam seminar matematika kali ini? Padahal mereka itu, terkenal bukan karena matematikanya. Acara seminarpun dimulai. Mulai dari para pemakalah utama, dilanjutkan dengan pemakalah-pemakalah lain menyampaikan uraiannya. Saya sendiri, yang cuma peserta biasa yang tak begitu paham matematika tak mengerti dengan materi-materi yang disampaikan pemakalah-pemakalah tersebut. Cuma karena seminarnya di Indonesia, lokasinya dekat dengan tempat saya tinggal, makanya saya ikut jadi peserta.

Seringkali saya mengangguk-anggukan kepala ketika para matematikawan itu berceramah. Mengangguknya saya bukan tanda mengerti, tapi karena mengantuk dan tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Hingga acara sebelum makan siang, tak ada yang menarik perhatian saya. Semua pemakalah asyik dengan uraiannya masing-masing. Di saat acara makan siang, seperti biasa, dalam keadaan lapar saya langsung mengambil jatah saya, dan saya mencari tempat untuk segera menyantap makanan yang saya ambil. Kebetulan, dekat di tempat saya menyantap makanan, saya melihat Abu Nawas dan Kabayan sedang asyik ngobrol sambil menikmati makan siangnya. Sayapun hanya memperhatikan sambil mengunyah makanan saya. Sebenarnya ingin sih saya berkenalan dengan mereka, cuma saya segan. Mereka itu para pemakalah dan saya hanya peserta alias penonton saja. Jadinya, saya diam saja dan hanya menyimak (menguping) obrolan mereka. Sangat asyik mendengar obrolan mereka. Mereka saling berbagi cerita tentang pengalaman-pengalaman jenaka mereka. Dalam hati, saya tertawa tak tahan mendengar kelucuan-kelucuan cerita yang mereka obrolkan (cerita lucunya, persis seperti yang diceritakan di buku-buku cerita). Tapi, sengaja saya tahan untuk tetap tidak tertawa. Khawatir dikatakan gila oleh orang-orang di sekitar saya karena tertawa sendirian. Satu obrolan yang sangat aneh, dan sebelumnya tak pernah saya temukan di buku-buku cerita, adalah mereka mengobrol tentang matematika.

Mungkin karena kali ini tentang seminar matematika kali ya? Makanya mereka juga ngobrol tentang matematika. Sayup-sayup terdengar, kira-kira begini obrolannya. **Kabayan** : “Abah Abu, sebenarnya saya ini bukan ahli matematika nih. Cuma, saya diundang berseminar matematika di sini. Menurut Abah Abu, saya harus bagaimana nih?” **Abu Nawas** : “Kang Kabayan, memangnya materi apa yang akan disampaikan pada seminar kali ini?” **Kabayan** : “Sebenarnya sih sederhana saja, panitia meminta saya menyampaikan tentang persamaan. Cuma mereka minta agar persamaan itu tak dibahas secara matematis, tapi dengan cara-cara yang sederhana (kalau bisa sih lucu) dan mudah dipahami oleh orang-orang biasa. Makanya saya ikut seminar ini. Kalau diminta membahas secara matematis sih, wah saya tak sanggup deh....” **Abu Nawas** : “Oh begitu ya...? Coba nih saya tanya, kira-kira Kang Kabayan menyelesaikan persamaan (8-x)/3 + 2 = 4 ini bagaimana?” **Kabayan** : “Secara matematis yang tepat sih, saya tak bisa menjelaskannya. Mungkin saya akan ditertawakan oleh para matematikawan-matematikawan itu. Saya bisanya dengan kata-kata saja..., dengan cara saya, seperti yang diminta panitia.” **Abu Nawas**: “Memangnya bagaimana? Saya juga tak mengerti bila diminta menjelaskan secara matematis. Soal tadi itu juga saya dapatkan dari kawan saya yang bertanya ke saya, dan saya tak bisa menjelaskannya secara matematis. Coba deh, menurutmu bagaimana cara penyelesaian persamaan tersebut?” **Kabayan** : “Ah, Abah Abu merendah saja....” **Abu Nawas**: “Serius! Saya benar-benar tidak bisa.” (kali ini tampak wajah Abu Nawas terlihat serius) **Kabayan** : “Baiklah kalau begitu. Begini menurut saya, persamaan itu saya ibaratkan sebuah timbangan dengan “dua tangan”. Tanda sama dengan berarti seimbang.” Abu Nawas menyimak Kabayan dengan sungguh-sungguh. **Kabayan**: “Berarti, untuk menyelesaikan persamaan tersebut ((8-x)/3 + 2 = 4), mudahnya begini saja. Saya ibaratkan 4 itu empat buah semangka berukuran sama yang terletak di sebelah kanan timbangan. Dan di sebelah kiri, (8-x)/3 + 2 itu berarti banyaknya semangka yang saya sendiri belum tahu berapa banyaknya ditambah dua semangka.” (Yang dimaksud Kabayan dengan banyaknya semangka yang ia belum tahu berapa banyaknya adalah (8-x)/3 ). **Abu Nawas**: “Ya... ya ..., terus?” **Kabayan**: “Nah, karena di sebelah kiri sudah jelas ada 2 semangka dan sebelah kanan ada 4 semangka, berarti bagian yang saya belum tahu ((8-x)/3 ) itu sebenarnya berjumlah 2 buah semangka. Jadinya, saya bisa tulis (8-x)/3 = 2.” Kabayan tampak terdiam beberapa saat, memperhatikan persamaan baru ((8-x)/3 = 2) yang diperolehnya. Kemudian, segera setelah itu ia melanjutkan penjelasannya.... **Kabayan**: “(8-x)/3 = 2, artinya banyaknya suatu semangka (8-x) bila dibagi 3 sama saja dengan 2. Berarti banyaknya semangka tersebut pasti adalah 6. Makanya berarti 8-x = 6.” Belum sempat melanjutkan penjelasannya, Abu Nawas segera berseru dan mengatakan begini. **Abu Nawas**: “Saya mengerti, saya mengerti.... Jadinya, karena 8-x = 6, artinya delapan semangka dikurangi berapa semangka (nilai x) hasilnya 6 kan? Pasti banyaknya semangka itu (di persamaan ini diberi symbol x) adalah 2, benar kan?” **Kabayan**: “Ya benar.... Tuh kan, Abah Abu cuma merendah saja....” **Abu Nawas**: “Ah *engga* juga, kamu benar-benar bagus penjelasannya. Makanya saya gampang mengerti.” Abu Nawas tertawa gembira, karena ia mengerti penjelasan Kabayan. Kemudian, ia pun bercerita pada Kabayan bahwa ia diundang ke seminar ini pun bukan karena ia mengerti matematika. Tapi, ia diminta panitia untuk menjelaskan sastra (bahasa) terkait dengan matematika. Karena katanya, Matematika itu adalah bahasa juga, tapi berupa bahasa symbol. ....................................................................................... **Abu Nawas**: “Sekarang saya jadi mengerti persamaan itu apa. Ini memudahkan saya untuk bercerita tentang matematika sebagai bahasa symbol nanti siang”, begitu kata Abu Nawas dengan nada optimis. **Kabayan**: “Sekarang, gantian saya yang mau bertanya nih sama Abah Abu....” **Abu Nawas**: “Ah kang Kabayan, jangan nanya yang susah-susah ya...?” **Kabayan**: “Justru ini pertanyaan susah yang belum bisa saya jawab.

Begini ceritanya, seminggu yang lalu presiden memberi potongan hukuman bagi para tahanan. Bahwa semua tahanan diberi potongan berupa setengah dari masa hukuman yang harus dijalani tiap tahanan tersebut. Untuk tahanan yang dihukum 10 tahun, karena dipotong setengahnya, jadinya ia cuma tinggal menjalani hukuman 5 tahun saja. Bila seorang tahanan dihukum 20 tahun, karena dipotong setengahnya jadinya tinggal 10 tahun saja. Begitu seterusnya. Ketetapan ini sudah diputuskan oleh presiden dan tak bisa diubah!” **Abu Nawas**: “Terus, masalahnya apa?” **Kabayan**: “Ini sebenarnya masalah matematika juga, cuma matematikawan-matematikawan di negeri saya tak ada yang sanggup menjawabnya. Masalahnya begini, karena ada tahanan yang dihukum seumur hidup (sampai sang tahanan tersebut meninggal), artinya kan harus ditentukan berapa lama sisanya ia akan dihukum? Padahal tak ada yang tahu kapan seseorang itu meninggal. Tak ada yang tahu berapa lama umur seseorang itu. Masalah ini jadi heboh di seluruh Indonesia dikarenakan presiden dengan ceroboh menetapkan kebijakannya tersebut. Belum ada yang bisa memecahkannya. Paranormal seperti dukun, tukang ramal nasib, tukang tenung, mentalist (semisal Dedi Corbuzier) dan sebangsanya itu tak bisa memecahkannya. Cendekiawan yang terkenal cerdik pun semisal Gus Dur dibikin repot karenanya (padahal Gus Dur terkenal dengan perkataannya, “Gitu aja kok repot.” Tapi, kali ini benar-benar ia repot dibuatnya). Para matematikawan pun yang pintar-pintar itu angkat tangan mencari solusinya. Dan ini menjadi isu nasional. Jadi, bagaimana Abah Abu menyelesaikannya?” **Abu Nawas**: “Ooooh begitu ya? Berat juga masalahnya kalau begitu. Tapi, beri saya waktu sepuluh menit saja, saya habiskan dulu ya makanan saya....” Kabayan pun mempersilakan Abu Nawas menghabiskan makanannya. Sambil makan, tampak Abu Nawas berfikir dengan serius. Dan, segera setelah habis makanannya, tampak cerialah wajah Abu Nawas, pertanda ia punya pemecahan masalah tersebut. **Abu Nawas**: “Hahaa.... Menurut saya begini saja, masalah ini bisa diselesaikan dengan konsep persamaan yang telah kamu jelaskan tadi....” **Kabayan**: “Oh ya...? Bagaimana?” **Abu Nawas**: “Karena persamaan itu menurutmu berarti seimbang, atau keseimbangan, masalah pemotongan masa hukuman tersebut ya mudah saja diselesaikan. Begini caranya, supaya orang yang dihukum seumur hidup itu dapat potongan hukuman setengah masa hidupnya, cara menghukumnya begini saja. Sehari ia ditahan, sehari ia dibebaskan, begitu seterusnya hingga ia meninggal. Seimbang bukan, seperti persamaan kan?” **Kabayan**: “Subhanallah, Alhamdulillah... benar-benar penyelesaian yang sangat cantik, dan sesuai konsep persamaan. Luar biasa, luuuuuuuuuuuuar biasa! Saya bersyukur bisa bertemu Abah Abu di tempat ini. Terimakasih ya Abah Abu....”

No comments: