Si Piso Sumalim

Dahulu kala hiduplah seorang raja di daerah Rura Silindung yang bernama Punsahang Mataniari-Punsahang Mata ni Bulan, Raja yang sangat makmur dan kaya raya. Raja ini mempunyai seorang saudara putri yang bernama siboru Sandebona yang kemudian kawin dengan raja Panuasa dari kampung Uluan.Suatu saat Siboru sandebona mengandung seorang anak laki-laki, akan tetapi setelah genap waktunya bayi ini tidak kunjung lahir, kemudian Siboru Sandebona kebingungan, lalu menemui seorang dukun sakti untuk menanyakan apa yang bakal terjadi dengan anak yang ada di dalam kandungannya. Dusun sakti kemudian memberikan jawaban bahwa bayi ini akan menjadi seorang laki-laki yang memiliki kharisma dan kelebihan tersendiri.

Begitulah setelah lahir, bayi ini diberi nama Sipiso Somalim. Setelah dewasa Sipiso Somalim sudah menunjukkan kelebihan tersendiri dalam kehidupan sehari-harinya. Pada suatu saat dia disuruh orangtuanya untuk membajak sawah dengan menggunakan tenaga kerbau, dia hanya duduk tenang, namun kerbau ini dapat disuruhnya bekerja sendiri untuk membajak sawah itu. Dalam sikapnya terhadap orang-orang sekitarnya, dia sangat sopan dan berbudi baik. Bahkan semua tindak tanduknya mencerminkan sikap seorang anak-raja.

Pada usia sudah matang, Sipiso Somalim tetap saja pada pendiriannya untuk meminang putri pamannya, ibunya tidak kuasa lagi menolak permintaan Sipiso Somalim. Lalu suatu ketika ibunya memberangkatkan Sipiso Somalim yang didampingi seorang pengawalnya yaitu Sipakpakhumal.

Dengan mengenakan pakaian kebesaran serta bekal secukupnya termasuk “Pungga Haomasan” (obat penangkal lapar dan haus), Sipiso Somalim berangkat menuju kampung pamannya Rura Silindungdn menelusuri hutan lebat, dengan jalan yang penuh resiko, seperti ancaman dari binatang buas mereka pun berjalan hingga suatu hari tiba pada sebuah pancuran yang sangat sejuk. Melihat sejuknya air pancuran ini, Sipiso Somalim meminta agar mereka berhenti dan mandi untuk melepas rasa letih. Kemudian dia menanggalkan pakaian kebesarannya dan selanjutnya meminta Sipakpakhumal untuk menjaganya.

Adapun Sipakpakhumal sejak keberangkatannya dengan Sipiso Somalim sudah memiliki niat jahat bagaimana agar dia dapat berperan sebagai Sipiso Somalim agar selanjutnya dapat memperistri putri Punsahang Mataniari. Maka dengan diam-diam dia mengenakan pakaian kebesaran Sipiso Somalim seperti layaknya seorang raja. Karena asiknya Sipiso Somalim mandi, dia tidak menghiraukan apa yang telah diperbuat Sipakpakhumal tadi. Setelah siap mandi betapa terkejutnya Sipiso Somalim menyaksikan Sipakpakhumal yang telah mengenakan pakainnya, dan sama sekali dia tidak dapat berbuat apa-apa, karena dengan pakaian ini kharisma Sipiso Somalim langsung pindah Sipakpakhumal.

Sipakpakhumal kemudian dengan menghunus pedang, dan suara lantang berkata, “sejak sekarang ini sayalah yang menjadi Sipiso Somalim dan kau menjadi Sipakpakhumal, kita akan terus menuju kampung Pusahang Mataniari dan jangan sekali-kali bicara pada siapapun bahwa aku telah menggantikanmu sebagai Sipiso Somalim, dan apabila hal ini kau ceritakan pada siapapun kau akan kubunuh, mengerti,” . Mendengar semua ini Sipiso Somalim tidak dapat bebuat apa-apa kecuali hanya tunduk serta menerima apa yang terjadi.

Perjalananpun dilanjutkan dan sejak itu, Sipiso Somalim dipanggil menjadi Sipakpakhumal dan demikian sebaliknya, Sipakpakhumal menjadi Sipiso Somalim. Selama dalam perjalanan, Sipakpakhumal yang sebelumnya adalah Sipiso Somalim tetapmenunjukkan sikap baik pada Sipiso Somalim, dan selama itu pula Sipakpakhumal tidak habis piker bagaimana perasaan ibu yang dia tinggalkan sebab sebelum berangkat dia berpesan kepada ibunya agar ibunya memperhatikan sebatang pohon yang dia tanam di dekat rumahnya, apabila pohon itu layu berarti dia mendapat kesulitan di tengah jalan, dan apabila mati maka dia telah mati diperjalanan.

Setelah berjalan beberapa hari akhirnya mereka tiba di Rura Silindung tempat Punsahang Mataniari-Punsahang Mata ni Bulan. Meilhat Sipiso Somalim datang Punsahang Mataniari terus tahu bahwa dia adalah anak saudarinya yaitu Siboru Sandebona. Lalu dengan langsung dia memeluk Sipiso Somalim meskipun sebenarnya dia memiliki firasat bahwa ada yang kurang beres dengan keponakannya itu, tetapi mereka tidak menunjukkan bahkan memperlakukannya Sipiso Somalim seperti keluarganya sendiri. Adapun Sipakpakhumal yang merupakan Sipiso Somalim yang sebenarnya tetap diam dan tidak berani berbuat apa-apa dan dia diperlakukan sebagai layaknya seorang pembantu.

Lama kelamaan Sipakpakhumal yang mengaku sebagai Sipiso Somalim makin menunjukkan sikap yang kurang baik terhadap keluarga pamannya maupun kepada Sipakpakhumal. Sebagaimana tujuan keberangkatan Sipiso Somalim untuk meminang putri pamannya, suatu ketika dia menyampaikan hasrat tersebut kepada pamannya. Akan tetapi untuk sementara, pamannya menolak dengan cara halus dengan alasan agar jangan terburu-buru dulu. Semua ini tentu karena pamannya makin hari makin curiga terhadap Sipakpakhumal yang mengaku sebagai Sipiso Somalim.

Rasa gelisah tetap menyelimuti hati ibu Sipiso Somalim, di kampung halaman, lalu kemudian dia kembali mengirimkan seekor kerbau yang bernama “Horbo Sisapang Naualu”. Ketika kerbau ini sampai Punsahang Mataniari memanggil Sipiso Somalim untuk mengiring kerbau ini kekandang. Akan tetapi saat dia mendekat kerbau ini mengamuk dan hampir menanduk Sipakpakhumal. Dengan kejadian ini, Punsahang Mataniari semakin menyadari bahwa ada yang tidak beres diantara Sipiso Somalim dan Sipakpakhumal. Kemudian Punsahang Mataniari memanggil Sipakpakhumal untuk mengiring kerbau tadi. Pada saat Sipakpakhumal mendekat, kerbau ini langsung mendekat seperti bersujud.

Kedatangan kerbau ini, bagi Sipakpakhumal mengetahui bahwa itu sengaja dikirim oleh ibunya dari kampung halaman. Sehingga pada saat dia menggembalakan kerbau ini di sawah dia membuka tanduk kerbau ini ternyata di dalamnya terdapat berbagai jenis alat musik dan perhiasan kerajaan sementara kerbau ini membajak sawah, dia memainkan alat-alat musik tadi sehingga karena merdunya segenap burung yang terbang diangkasa turut bernyanyi ria.

Pada siang hari, datanglah putri Punsahang Mataniari untuk mengantar makanan Sipakpakhumal. Setelah dekat, dia sangat terkejut mendengar musik yang sangat merdu yang diiringi oleh nyanyi ria yang banyak bertengger diatas dahan, ternyata yang memainkan musik ini adalah Sipapakhumal. Lebih terkejut lagi, pada saat dia memperhatikan bahwa kerbau tersebut membajak sawah tanpa digembalakan Sipakpakhumal.

Dengan rasa gugup dan ketakutan, Sipakpakhumal menerima makanan itu dari putri Punsahang Mataniari, dasar curiga, putri Punsahang Mataniari pamit seolah-olah pulang ke rumah akan tetapi dia bersembunyi dibalik sebuah pohon besar untuk mengamati dari dekat tindak tanduk Sipakpakhumal. Sipakpakhumal merasa bahwa putri Punsahang Mataniari sudah jauh lalu diambilnya nasi tersebut dan ditaburkannya untuk makanan burung yang semuanya mengelilingi Sipakpakhumal. Kemudian dia merogoh kantongnya dan mengambil sebuah benda kecil yang disebut “pungga haomasan”.

Pungga haomasan ini kemudian dicium dan dijilat lalu seketika itu dia kenyang sebagaimana layaknya makan nasi. Pungga haomasan ini diberikan ibunya saat dia berangkat dahulu dan sampai saat itu tetap berada ditangannya. Sehingga selama ini pun Punsahang Mataniari sebenarnya juga curiga karena pengetahuannya Sipakpakhumal tidak pernah makan tetapi tetap mengaku kenyang. Menyaksikan semua apa yang terjadi putri Punsahang Mataniari cepat-cepat menemui dan memberitahukan apa yang dia saksikan kepada ayahnya Punsahang Mataniari, dan ayahnya pun semakin yakin bahwa Sipakpakhumal yang dijadikan pembantu adalah Sipiso Somalim yang sebenarnya.

Sementara itu, Sipakpakhumal yang mengaku Sipiso Somalim semakin mendesak pamannya agar dia dikawinkan dengan putri pamannya. Hingga pada suatu ketika, pamannya mempertanyakan kepada putrinya yang paling sulung agar berkenan menerima Sipakpakhumal yang mengaku sebagai Sipiso Somalim menjadi suaminya akan tetapi dia menolak permintaan itu. Kemudian Punsahang Mataniari menawarkan kepada anak perempuannya nomor dua dan ternyata putrinya itu mau. Lalu malalui upacara adat mereka dikawinkan.

Putri sulung Punsahang Mataniari meminta kepada ayahnya untuk menggelar upacara dengan membunyikan seperangkat musik dan mengundang semua pemuda yaitu anak raja-raja yang berada disekeliling kampungnya. Untuk menari dan dia ingin memilih salah satu dari antara mereka untuk menjadi suaminya. Acara sudah digelar akan tetapi tak satu orangpun dari pemuda itu berkenan di hati putrinya Punsahang Mataniari, namun diluar dugaan, tiba-tiba seorang pemuda menunggang kuda dan berpakaian kerajaan tiba-tiba muncul dipesta itu, semua orang tercengang dan seketika itu pula pemuda itu meninggalkan pesta itu.

Dengan kehadiran pemuda itu, sang putri mengatakan kepada ayahnya bahwa dia sangat tertarik kepada pemuda tersebut dan meminta kepada ayahnya agar dia menyuruh para pengawal untuk mencari asal pemuda tadi. Para pengawalnyapun mengikuti jejak pemuda tadi dan akhirnya mereka tiba pada suatu tempat yaitu tempatnya Sipakpakhumal untuk mengembalakan ternak tuannya. Para pengawalmya heran sebab ada tanda-tanda bahwa Sipakpakhumal lah lelaki yang baru saja hadir di pesta itu, karena sesaat setelah Sipakpakhumal berada di gubuknya lalu ia menukar pakaiannya seperti semula dan pakaian kebesaran itu adalah pemberian ibunya yang dikirimkan melalui kerbau itu dan setelah dia sampai dipondoknya, pakaian kebesaran itupun ditanggalkan dan memakai pakaian biasa.

Para pengawal kemudian kembali dan melaporkan kepada Punsahang Mataniari bahwa mereka telah tidak menemukan jejak pemuda itu. Dengan hati tidak sabar, Punsahang Mataniari kemudian memangil si Piso Somalim serta bertanya apa yang pernah terjadi antara mereka berdua. Karena Punsahang Mataniari mengancam akan membunuh apabila dia bohong maka Si Piso Somalim mengaku dengan terus terang apa yang telah dia lakukan terhadap Sipakpakhumal sehingga Sipiso Somalim yang sebenarnya akhirnya dijadikan sebagai Sipakpakhumal dan demikian juga sebaliknya.

Dengan perasaan berang sebenarnya ingin menghukum Sipakpakhumal ini, akan tetapi karena Punsahanng Mataniari sadar bahwa Sipakpakhumal telah terlanjur menantunya sehingga dia tidak dapat berbuat apa-apa.Begitupun karena Sipakpakhumal menyadari kesalahannya dan merasa hidupnya akan terancam, besok harinya pada pagi-pagi buta dia melarikan diri beserta istrinya yang menurut cerita berangkat menuju Sumatera Timur.

Pada kedua kalinya, atas permintaan putri Punsahang Mataniari, kembali digelar acara adat dengan membunyikan seperangkat alat musik, dan pada saat acara berakhir tiba-tiba seorang pemuda dengan menunggang kuda “Siapas Puli” kembali hadir setelah menari-nari sejenak akhirnya menghilang. Baik Punsahang Mataniari maupun putri sulung menganggap bahwa yang datang itu adalah Sipiso Somalim yang sebenarnya dan yang selama 7 tahun telah terlanjur mereka jadikan sebagai pembantu dan semua ini adalah atas ulah dari kebohongan Sipakpakhumal yang selama ini mengaku sebagai Sipiso Somalim.

Maka pada saat itu juga, Punsahang Mataniari memerintahkan para pengawal untuk menjemput Sipakpakhumal dari tempatnya dan membawanya terhadap Punsahang Mataniari. Pakpakhumal sebenarnya apa yang terjadi dan sebelumnya dia menolak untuk menemui Punsahang Mataniari akan tetapi setelah dibujuk akhirnya diapun mau.

Pertemuan dengan Punsahang Mataniari beserta seluruh keluarganya sangat mengharukan. Pada saat itu akhirnya Sipakpakhumal yang sebenarnya adalah Sipiso Somalim menceritakan semua yang terjadi sejak diberangkatkan Ibunya 7 tahun yang lalu akhirnya mendapat malapetaka atas ulah licik Sipakpakhumal yang sebenarnya. Pada saat itu pamannya menyampaikan maaf yang sebenarnya atas apa yang terjadi selama 7 tahun ini.

Suasanapun berobah, suatu saat pamannya mengutarakan bahwa mereka memiliki hasrat untuk menjadikan Sipiso Somalim sebagai menantunya. Pada awalnya Sipiso Somalim menolak akan tetapi setelah dia pertimbangkan masak-masak akhirnya dia terima dan pesta perkawinanpun dilaksanakan dengan menggelar upacara adat.

Sipiso Somalim akhirnya menikah denngan putri pamannya sesuai dengan keberangkatannya untuk menemui pamannya Punsahang Mataniari 7 tahun yang silam dan pada suatu waktu dia beserta istrinya meninggalkan Rura Silindung dan kembali menemui Ibunya di kampung halamannya yaitu Kampung Uluan.

Abu Nawas, Yang Lebih Kaya dan Mencintai Fitnah

Seperti biasa, Abu Nawas berjalan-jalan mengunjungi pasar. Tempat inilah yang paling ia sukai karena dari tempat ini ia dapat mempublikasikan ide-idenya ke masyarakat luas secara langsung.

Tiba-tiba ia berdiri di suatu tempat yang cukup tinggi untuk di dengar seluruh orang di pasar. Dengan suara agak keras, ia mulai berpidato."Saudara-saudara sekalian. Ada yang perlu saudara-saudara ketahui tentang Raja kita yang tercinta, Baginda Harun Al Rasyid."

Seluruh isi pasar terdiam, pandangan tertuju padanya. Orang-orang di pasar itu menunggu- nunggu kalimat berikutnya yang akan dikeluarkan oleh Abu Nawas. Melihat pandangan semua tertuju padanya, Abu Nawas semakin percaya diri.

"Kalian harus tahu, bahwa sebenarnya Baginda Harun Al Rasyid lebih kaya dari pada Allah"

Tiba-tiba bergemeruhlah suara orang-orang dipasar. Semua orang tersentak mendengar kata-kata yang keluar mulut si Abu Nawas.

"Tenang....tenang.....tenang saudara. Masih ada lagi."

Lagi-lagi seluruh orang pasar terdiam.

"Baginda kita itu, sebenarnya sangaaaaaaat mencintai fitnah."

Meledaklah lagi gemuruh orang seluruh pasar. Banyak yang memprotes omongan Abu Nawas. Tetapi si Abu Nawas nampak tenang-tenang saja tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Tiba-tiba sejumlah tangan merengut kedua lengan Abu Nawas. Tetapi Abu Nawas berusaha tetap tenang. Ia tahu itu adalah tangan-tangan dari punggawa-punggawa kerajaan. Diseretlah Abu Nawas menghadap raja Harun Al Rasyid.

Dengan muka geram, raja Harun Al Rasyid menginterogasi Abu Nawas dihadapan penasehat-penasehatnya. "Apakah benar dipasar kamu mengatakan bahwa Aku lebih kaya dari Allah?"

"Benar baginda."

Makin geramlah Harun Al Rasyid.

"Apakah benar kamu juga mengatakan bahwa aku mecintai fitnah?"

"Maaf, Baginda. Itu benar adanya," jawab Abu Nawas tenang.

"Pengawal!! Bawa Abu Nawas ke penjara. Gantung dia besok pagi."

"Tenang, Baginda. Beri saya kesempatan untuk menjelaskan apa maksud kata-kata saya itu." Abu Nawas memohon dengan ekspresi yang memelas.

"Cepat katakan! Sebelum kau temui ajalmu."

"Begini Baginda. Maksud kata-kata saya bahwa Baginda lebih kaya dari Allah adalah baginda memiliki anak, sedang Allah tidak dimemiliki anak. Bukan begitu Baginda?"

Harun Al Rasyid terdiam. Dia tersenyum dalam hati. "Dasar. Si Abu Nawas."

"Terus, maksud kata-katamu bahwa aku mencintai fitnah?"

"Maksudnya, bahwa Baginda sangat mencintai istri dan anak-anak Baginda sendiri. Padahal mereka dapat menjadi fitnah bagi Baginda. Bukan begitu Baginda?"

Harun Al Rasyid pun hanya bisa geleng-geleng kepala. "Lantas, kenapa kamu teriak-teriak di pasar? Yang nggak ngerti omonganmu kan bisa marah."

"Yah, kalau masyarakat marah. Nanti kan Saya dipanggil oleh, Baginda."

"Kalau Aku sudah memanggil, memang kenapa?"

"Hmmmm....Yah...biar dikasih hadiah, Baginda," ucap Abu Nawas lirih.

Baginda pun hanya bisa tersenyum simpul. Lalu diberikannya sekantung uang dinar ke Abu Nawas.

Abu Nawas Melawan Raja

Suatu hari khalifah Harus Al Rasyid tiba-tiba menyuruh tentara membongkar rumah Abu Nawas. penyebabnya, khalifah bermimpi di bawah rumah itu ada timbungan emas sangat banyak. Tanpa izin dari empunya rumah, tentara langsung menggali tanah. Namun meski sudah dalam, emas yang dikira ada itu ternyata tak juga diketemukan. Lantas para tentara itu pulang dan menimbulkkan kerusakan di rumah Abu Nawas.

Tentu saja Abu Nawas sangat geram diperlakukan demikian. Apalagi tak ada kata maaf dari khalifah. namun untuk membalas pun, Abu Nawas tak bisa secara langsung. Berhari-hari dia berpikir. Akhirnya pada hari ketujuh, muka Abu Nawas yang sejak pembongkaran rumahnya itu kecut, langsung berubah berseri-seri.

Segera dia menghadap ke istana. Khalifah pun mau menerima karena sudah yakin Abu Nawas akan datang. Selain itu, keduanya pun kerap bertemu. Di depan khalifah, dia mengutarakan maksud kedatangannya.

“Paduka, saya dan istri saya merasa tidak nyaman akhir-akhir ini,” kata dia seraya membawa wadah yang ditutup kain dan berisi lalat.

“Kenapa,” tanya khalifah.

”Setiap hari saya diganggu lalat-lalat. Saya ingin membasmi lalat dan membunuhnya tapi hamba mohon diberi ’surat kuasa” yang ditandatangani paduka.

Tanpa banyak bicara, khalifah segera menandatangani surat tersebut dan diberikan kepada Abu Nawas. Begitu yakin telah mendapat mandat, Abu Nawas pun membuka wadah yang dibawanya dan sekejap saja lalat-lalat berterbangan di ruangan khalifah.

Abu Nawas yang memang sudah mempersiapkan rencananya untuk membalas kelakuan khalifah tempo hari segera berlarian mengejar lalat-lalat tersebut. Dengan memegang tongkat kayu, dipukulah lalat-lalat yang beterbangan itu. Ketika lalat menempel di kaca, Abu Nawas pun tak ragu menghantamnya. Tentu saja kaca itu hancur. Lalat yang hingga di lampu dan perabotan pun dihajarnya walau pun tak kena, namun merusak perkakas di ruang tersebut. Bahkan tempayan kesayangan khalifah pun dia hantam hingga hancur gara-gara dihinggapi lalat.

Setelah ruangan itu berantakan, Abu Nawas pun pamit pulang dengan rasa puas karena dendamnya terbalas. Sedangkan khalifah yang menyadari kesalahannya tempo hari tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi dia sudah memberikan surat kuasa kepada Abu Nawas.


Abu Nawas Menghitung Kematian

ABU Nawas memang terkenal kecerdikannya. Dari kalangan istana sampai ke desa, tak ada orang yang tak tahu Abu Nawas. Suatu hari Raja Harun hendak mengadakan pesta ulang tahun kerajaan. Baginda ingin rakyatnya juga ikut merayakan dan merasa senang di hari bahagia itu.

Di hari yang telah ditentukan, rakyat dikumpulkan depan balairung istama. Baginda lalu berdiri dan berkata, "Rakyatku tercinta, hari ini kita mengadakan pesta ulang tahun kerajaan. Aku akan memberi hadiah kepada para fakir miskin. Aku juga akan memberikan pengampunan kepada tahanan di penjara, dengan mengurangi hukuman tersebut setengah dari sisa hukumnya," begitu sabda Baginda Harun Al Rasyid dengan arif.

Kemudian para pengawal membagi-bagikan hadiah tersebut kepada fakir miskin. Usai itu, Raja lalu memanggil para tahanan.

"Sofyan berapa tahun hukumanmu?" tanya Baginda. Sofyan pun menjawab, "Dua tahun Baginda."

"Sudah berapa tahun yang kamu laksanakan?" tanya Baginda lagi.

"Satu tahun Baginda," sahutnya.

"Kalau begitu, sisa hukumanmu yang satu tahun aku kurang setengah tahun sehingga hukumanmu tinggal 6 bulan lagi," tegas Baginda.

Selanjutnya, dipanggillah Ali. "Berapa tahun hukumanmu?" Baginda bertanya.

Dengan nada sedih, Ali menjawab, "Mohon ampun sebelumnya Baginda, hamba dihukum seumur hidup."

Mendengar jawaban Ali tersebut, Baginda menjadi bingung. Ditengah kebingungannya, beliau teringat dengan Abu Nawas.

"Abu, ini ada masalah mengenai hadiah pengampunan bagi Ali. Dia dihukum seumur hidup sedang aku berjanji akan memberikan pengampunan setengah dari sisa hukumannya, padahal aku tidak tahu sampai umur berapa Ali hidup. Sekarang aku minta nasihatmu bagaimana caranya memberi pengampunan kepada Ali dari sisa hukumannya," jelas Baginda.

Mendengar hal tersebut, Abu Nawas pun dibuat bingung. Dia berpikir, apa bisa mengurangi umur orang, padahal dia sendiri tidak tahu sampai berapa umurnya. "Hamba minta waktu Baginda!" ujar Abu.

Oleh Baginda, Abu Nawas diberi waktu sehari semalam. "Bila besok kamu tak bisa memberikan jawabannya, kamu akan menggantikan hukuman si Ali," begitu perintah Baginda.

Sampai di rumah, Abu Nawas pun berpikir keras menemukan pemecahan masalah tersebut. Dia tak bisa tidur memikirkannya. Namun setelah beberapa waktu, tampak Abu Nawas senyum-senyum kelihatan gembira. Abu Nawas lalu masuk ke rumah dan tidur dengan nyenyak.

Pagi-pagi sekali, Abu Nawas telah bangun. Setelah mandi dan sarapan, Abu Nawas pergi menuju istana. "Hamba sudah mendapatkan cara untuk memecahkan masalah si Ali," jawab Abu Nawas saat menghadap Baginda.

"Kalau memang sudah temukan caranya, cepatlah utarakan kepadaku," kata Baginda tak sabar.

"Begini Baginda, sebaiknya si Ali berada diluar penjara dan bisa bebas selama satu hari, lalu besoknya dimasukkan kedalam penjara juga selama satu hari. Lusa juga bebas sehari, begitu berlangsung selama umur si Ali."

"Ehm...he..he.." Baginda Harun tersenyum. "Kamu memang pandai Abu. Kalau begitu kamu juga akan aku beri hadiah, yaitu sekantung keping emas." Raja Harun lalu memerintahkan pengawalnya agar mengambil sekantung keping emas di tempat penyimpanannya. Lalu diberikan kepada Abu Nawas.

Abu Nawas Menjadi Penjahit

Ketika masih muda, Abu Nawas pernah bekerja di sebuah toko jahit.

Suatu hari majikannya datang membawa satu kendi madu dan karena kuatir madu tersebut diminum oleh Abu Nawas, maka majikannya berbohong dengan berkata, "Abu, kendi ini berisi racun dan aku tidak mau kamu mati karena meminumnya!!!"

Sang majikan pun pergi keluar, pada saat itu Abu Nawas menjual sepotong pakaian, kemudian menggunakan uangnya untuk membeli roti dan menghabiskan madu itu dengan rotinya.

Majikannya pun datang dan sadar bahwa pakaian yang dijualnya ternyata kurang satu sedangkan madu dalam kendi juga telah habis. Bertanya dia pada Abu Nawas, "Abu!!! Apa sebenarnya yang telah terjadi..?".

Abu Nawas menjawab, "Maaf tuan, tadi ada seorang pencuri yang mencuri pakaian tuan, lalu karena aku takut akan dimarahi tuan, jadi aku putuskan untuk bunuh diri saja menggunakan racun dalam kendi itu...".

Abu Nawas dan Gajah

Raja: Hai abunawas! engkau terkenal cerdik & pandai, aku ingin melihat itu, kalau engkau benar2 hebat, maka buatlah gajah kesayanganku ini mengangkat kakinya, terserah kaki yg mana, kemudian buatlah jg dia menggelengkan kepalanya. Kalau kau berhasil, maka akan ku kabulkan apapun permohonanmu, karena siapapun di negeri antah berantah ini tdk ada yg dpt melakukannya.

Abunawas; Baiklah baginda.
(maka dengan akal cerdiknya abunawas mendekati sang gajah yg berkelamin laki2 itu, dan... menarik kemaluannya, maka !!!AaAaUuuu!!!... sang gajah terkejut & sedikit kesakitan & mengangkat2 kakinya.)

Raja: Berikan tepuk tangan buat Abunawas!... Eit! jangan senang dulu kamu! selesaikan saja yg berikutnya.

Abinawas: Siap baginda.
(lagi2 Abunawas mendekati sang gajah, dan berbisik ditelinganya 'hai gajah dongo! apa mau yg seperti tadi lagi?!'... sang gajah pun dengan keras menggeleng2kan kepalanya).

.....Sang Raja & seluruh rakyat yg menyaksikan melongo & terdiam kagum melihat kehebatan Abunawas.

Abu Nawas Pengawal Raja

Alkisah, Abunawas bertugas menjadi pengawal raja, kemanapun Raja pergi Abunawas selalu ada didekatnya .

Raja membuat Undang Undang kebersihan lingkungan, yang pada salah satu fasalnya berbunyi, Dilarang berak di sungai kecuali Raja atau seijin Raja, pelanggaran atas fasal ini adalah hukuman mati.
Suatu hari Raja mengajak Abunawas berburu ke hutan, ndilalah Raja kebelet berak, karena di hutan maka Raja berak di sungai yang airnya mengalir ke arah utara.

Raja berak di suatu tempat, eee Abunawas ikut berak juga di sebelah selatan dari Raja, begitu Raja melihat ada kotoran lain selain kotoran nya, raja marah, dan diketahui yang berak adalah Abunawas .
Abunawas dibawa ke pengadilan, Abunawas divonis hukuman mati, sebelum hukuman dilaksanakan, Abunawas diberi kesempatan membela diri, kata Abunawas

"Raja yang mulia, aku rela dihukum mati, tapi aku akan sampaikan alasanku kenapa aku ikut berak bersama raja saat itu, itu adalah bukti kesetiaanku pada paduka raja, karena sampai kotoran Rajapun harus aku kawal dengan kootoranku, itulah pembelaanku dan alasanku Raja. Hukumlah aku."

Abunawas yang divonis mati, diampuni dan malah diberi hadiah rumah dan perahu kecil untuk tempat kotoran nya mengawal kotoran raja.

Abu Nawas dan Kambing

Di negeri Persia hiduplah seorang lelaki yang bernama Abdul Hamid Al-Kharizmi, lelaki ini adalah seorang saudagar yang kaya raya di daerahnya, tetapi sayang usia perkawinannya yang sudah mencapai lima tahun tidak juga dikaruniai seorang anak. Pada suatu hari, setelah shalat Ashar di Mesjid ia bernazar, “ya Allah swt. jika engkau mengaruniai aku seorang anak maka akan kusembelih seekor kambing yang memiliki tanduk sebesar jengkal manusia”. Setelah ia pulang dari mesjid, istrinya yang bernama Nazariah berteriak dari jendela rumahnya:

Nazariah : “hai, hoi, cuit-cuit, suamiku tercinta, aku sayang kepadamu, ayo kemari, cepat aku ggak sabaran lagi, kepingen ni, cepat, aku kepengen ngomong”


Abdul heran dengan sikap istrinya seperti itu, dan langsung cepat-cepat dia masuk kerumah dengan penasaran sebesar gunung.


Abdul : h, h, h, h, h, h, nafasnya kecapaian berlari dari jalan menuju kerumahnya “ada apa istriku yang
cantik?”
Nazariah : “aku hamil kang mas”
Abdul : “kamu hamil?, cihui, hui, “


Sambil meloncat-loncat kegirangan di atas tempat tidur, Plok, dia terperosok ke dalam tempat tidurnya yang terbuat dari papan itu.


Tidak lama setelah kejadian itu istrinya melahirkan seorang anak laki-laki yang sangat cantik dan lucu. Dan diberi nama Sukawati


Pak lurah : “Anak anda kan laki-laki, kenapa diberi nama Sukawati?”
Abdul : “dikarenakan anak saya laki-lakilah makanya saya beri nama Sukawati, jika saya beri nama
Sukawan dia disangka homo.
Abdul : “Hai Malik (ajudannya) cepat kamu cari kambing yang mempunyai tanduk sebesar jengkal manusia”.
Malik : “tanduk sebesar jengkal manusia?” ia heran “mau cari dimana tuan?”
Abdul : “cari di dalam hidungmu dongol, ya cari diseluruh ke seluruh negeri ini”


Beberapa hari kemudian.


Malik : “Tuan Abdul, saya sudah cari kemana-mana tetapi saya tidak menemukan kambing yang punya
tanduk sejengkal manusia”
Abdul : “Bagaimana kalau kita membuat sayembara, cepat buat pengumuman ke seluruh negeri bahwa kita
membutuhkan seekor kambing yang memiliki tanduk sejengkal manusia untuk disembelih”

Menuruti perintah tuannya, Malik segera menempelkan pengumunan di seluruh negeri itu, dan orang-orang yang memiliki kambing yang bertandukpun datang kerumah Abdul, seperti pengawas Pemilu, Abdul memeriksa tanduk kambing yang dibawa tersebut.


Abdul : “hai tuan anda jangan menipu saya, kambing ini tidak memiliki tanduk sebesar jengkal manusia”
kemudian ia pergi ke kambing lain “jangan main-main tuan, ini tanduk kambing palsu”.


Setelah sekian lama menyeleksi tanduk kambing yang dibawa oleh kontestan sayembara, ternyata tidak satupun yang sesuai dengan nazarnya kepada Allah swt. Abdul hampir putus asa, tiba-tiba.


Abdul : “aha, saya teh ada ide, segera kamu ke ibu kota dan jumpai pak Abu dan katakan saya ingin
meminta tolong masalah saya.


Malik segera menuruti perintah tuannya, dan segera menuju ibu kota dan menjumpai Pak Abu yang punya nama lengkap Abu Nawas.


Malik : “Pak Abu, begini ceritanya, cus, cues, ces. Pak Abu bisa bantu tuan saya”
Pak Abu : “katakan pada tuan kamu, bawa kambing yang punya tanduk dan bayinya tersebut besok pagi ke mesjid Fathun Qarib.

Malik segera pulang dan memberitahukan kepada tuannya bahwa Pak Abu bisa membantu dan cus, cues, ces, sstsst,


Di esok pagi Abdul menjumpai Pak Abu dengan seekor kambing yang punya tanduk dan anaknya yang masih bayi tersebut, beserta istrinya.


Pak Abu : “Baiklah tuan Abdul, jika nazarmua kepada Allah swt. menyembelih kambing yang punya tanduk
sebesar jengkal manusia, sekarang tunjukkan mana kambing yang kau bawa kemari, dan mana anakmu”
Abdul : “ini kambing dan anak saya Pak Abu”


Pak Abu kemudian mengukur tanduk kembing tersebut dengan jengkal anak bayi tersebut dan Pak abu memperlihatkannya ke Abdul


Pak Abu : “sekarang kamu sudah bisa membayar nazarmu kepada Allah swt. karena sudah dapat kambing yang pas”
Abdul : “cihui, uhui, pak Abu memang hebat”, dia meloncat-loncat kegirangan di dalam mesjid setelah melakukan sujud syukur, dan tiba-tiba sleit, dia terpeleset jatuh, karena lantainya baru saja di pel oleh pengurus mesjid itu

Pak Belalang

Al kisah, maka adalah suatu cerita, kononnya sebuah negeri nama Halban Cundung. Nama rajanya Indera Maya, cukup dengan hulubalang menterinya. Maka adalah dipeminggiran negeri raja itu seorang peladang tiga beranak, anaknya laki-laki dinamakannya Belalang, menjadi orang-orang semuanya memanggil orang tua peladang itu Pak Belalang. Maka pada suatu tahun semua orang tiada dapat padi berladang, oleh sangat kemarau. Maka yang hal sepeladang tiga beranak itu sangatlah kesusahan hendak mencari makanan, tiadalah dapat daya dan upaya lagi, melainkan dengan makanan kutip katap sahaja, ya ni terkadang makan ubi, tebu, pisang, keladi dan sebagainya.


Hatta, antara beberapa lamanya didalam hal yang demikian itu, sampailah pula musim piama. Maka orang bekerja bendang pun masing-masing turun kebendangnya membuat pekerjaan, ada yang mencuci parit, membaiki batas-batas mana-mana yang patut dan rusuk, dan ada yang menengala dengan kerbau, ya ni tanah didalam petak bendang itu supaya menjadi lembut semuanya, boleh senang menanam padi, lagi pula menyuburkan pokok padi sampai kepada buahnya. Maka ada pula yang memagar dan berbuat berbagai-bagai ikhtiar supaya terpelihara daripada mara bahaya musuhnya seperti tikus, ulat dan babi. Maka didalam hal yang demikian itu semua orang membuat pekerjaan, melainkan Pak Belalang tiga beranak asyik dengan tidur siang malam dirumahnya dengan berdukacita yang teramat sangat akan kehidupannya yang akan boleh makan.


Maka pada suatu hari Pak Belalang berkata kepada anaknya nama Si Belalang itu, wahai anakku, apalah sudah untung kita demikian ini. Tiadalah dapat apa-apa yang dijadikan makanan kita anak beranak. Maka jawab anaknya, apakah fikiran aki? Maka kata Pak Belalang, pada fikiranku pergilah anakku sembunyikan kerbau orang yang menenggala dibendang itu barang dua ekor, taruh didalam semak-semak itu. Jikalau orang itu gempar kehilangan kerbaunya, katakana aku tahu bertenung menentukan dimana-mana tempat kerbau itu.


Sebermula, telah sudah bermesyuarat kedua beranaknya, pada waktu matahari rembang orang-orang bendang itu kelelahanlah penat. Masing-masing pun berhentilah naik kedangaunya makan minum dan setengah tidur. Maka kerbau-kerbau mereka itu ditambatkan ditepi batas yang disebelah naung, makan rumput dan setengah dilepaskan dengan tali-talinya berkubang.


Arakian, Si Belalang pun, lepas bermesyuarat dengan bapanya itu, lalulah ketempat kerbau yang teramat itu dengan seorang dirinya terhendap-hendap mengintau tuan kerbau itu. Telah sampai lalu dipegangnya tali kerbau, diambilnya dua ekor, ditambatkannya kepada pohon kayu besar kira-kira sebatu jauhnya daripada tempat itu. Maka ia pun pulang kepada bapanya, habis dikabarkannya hal ehwalnya. Maka sangatlah sukacita bapanya mendengarkan perkataan anaknya oleh mengikut seperti pengajarannya.


Hatta, tersebut perkataan orang-orang bendang itu. Apabila telah beralih hari, masing-masing pun turunlah kebendangnya sambil hendak mengambil kerbau. Maka dilihat dua ekor kerbaunya sudah hilang. Jenuh mencari tiada jump, sambil berkata, siapakah gerangan agaknya tahu bertenung ini? Kita hendak tenungkan kerbau yang hilang ini. Maka pada ketika itu Si Belalang sedang bermain dekat-dekat meraka itu. Maka katanya, bapaku tahu juga sedikit-sedikit bertenung.


Jawabnya tahu juga. Maka kata orang bendang itu, marilah kita sekalian pergi kepada Pak Belalang minta ditenungkan. Jawab kawannya, moh la. Lalu pergilah orang-orang bendang itu kepada Pak Belalang. Maka pada ketika itu Pak Belalang pun ada dirumah sedang memegang gobek. Lalu ditegurnya akan mereka itu seraya katanya, apakah hajat anakku sekalian ini? Jawab orang-orang itu, kita ini mendapatkan Pak Belalang minta tenungkan kerbau kita hilang, jenuh mencarinya.


Maka kata Pak Belalang pun mengambil kertas yang buruk, ditulisnya bagai bekas cakar ayam sahaja, dengan tawakal diperbuatnya serta membilang-bilang jarinya dan memejam-mejamkan matanya. Katanya, ayuhi anakku, kerbau itu dua yang hilang ada disebelah matahari mati, ditambatkan orang dipohon kayu besar. Pada petuanya jikalau lambat dituruti nescayalah ia mati.


Demi orang-orang itu mendengarkan perkataan Pak Belalang, sangatlah sukacita hatinya. Lalulah pergi setenganya mencari dan yang setengah balik pulang. Kemudian antara beberapa lamanya mereka itu pun sampailah ketempat yang ditambatkan oleh Si Belalang itu. Maka kerbau dua ekor itu hampir akan mati kerana tersangat dahaga, lalu diambilnya, dibawa pulang kerumahnya akan Pak Belalang tahu tenung. Maka singgahlah mereka itu dirumah Pak Belalang, serta membawa beberapa banyak hadiah daripada beras, padi, tembakau, gambir, ikan dan lain-lainnya adalah berharga kadar lima puluh derham. Maka sangatlah kesukaan hati Pak Belalang menerima hadiah mereka itu, dengan beberapa kesenangan ia makan anak-beranak.


Kelakian, tersebutlah Raja Indera Maya didalam negeri itu. Pada suatu malam kecurianlah baginda tujuh biji peti yang berisi emas, intan, derham dan lain-lain mata benda yang mahal-mahal harganya. Maka dititahkan oleh baginda memukul canang segenap pekan didalam negeri itu, titahnya, siapa-siapa tahu bertenung raja memanggil kedalam, hendak minta tenungkan harta yang hilang kecurian tujuh buji peti semalam. Maka didengar oleh bendang yang hilang kerbau itu. Katanya, yang kita tahu, orang yang pandai bertenung, boleh dapat dengan segeranya.


Maka kata tukang canang itu, dimanakah rumahnya? Jawab orang bendang itu, itulah rumahnya. Maka pergilah tukang canang itu. Didapati Pak Belalang ada hadir dirumahnya. Lalu mereka bertanya, ayuhai Pak Belalang, iakah sungguhh tahu bertenung? Maka jawabnya, tahu juga sedikit. Maka kata tukang canang, marilah mengadap baginda, kerana baginda kecurian tujuh biji peti semalam.


Maka jawab Pak Belalang, baiklah. Maka ia pun pergilah mengadap baginda bersama-sama dengan tukang canang. Apabila sampai kedalam lalu ditegur oleh baginda seraya bertitah, hai Pak Belalang, tahukah engkau bertenung? Maka sembah Pak Belalang, ampun Tuanku beribu-ribu ampun, tahu juga sedikit kerana patik ditinggalkan hamba tua dahulu empat peti kitab tiba dirumah patik dari hal kisah pencuri barang-barang yang hilang.


Maka titah baginda, jikalau baginda beta beri tempoh didalam tujuh hari ini, beta minta tenungkan harta beta yang hilang itu. Jika tiada dapat engkau tenungkan harta itu, nescaya beta bunuh kerana membuat bohong mengatakan ada empat biji peti tib ilmu nujum. Maka sembah Pak Belalang, Daulat Tuanku titah patik junjung. Insyaallah ta`ala, berkat dengan tinggi daulat, bolehlah patik tenungkan, Tuanku.


Maka Pak Belalang pun bermohon balik, dikurniakan oleh baginda seratus derham akan belanjanya. Hatta, apabila sampai kepekan, maka dibelinya beras, ikan, minyak dan tepung, dibawa balik kerumahnya, diberikan kepada isterinya. Maka tanya isterinya, dimana Pak Belalang dapat barang banyak-banyak ini? Curikah? Jawabnya, tiada aku curi, raja memberi kepada aku, disuruhnya bertenung hartanya hilanh tujuh biji peti semalam konon. Maka tepung ini perbuatlah roti. Aku teragak hendak makan roti rasanya.


Maka diambil oleh perempuannya barang-barang itu diperbuat roti. Seketika nanti hari pun malam. Lepas makan nasi tiga beranak itu, Pak Belalang pun berbaring ditengah rumahnya oleh sebab letih berjalan tadi. Maka isterinya pun masaklah roti itu didapurnya, direndangnya sebiji-biji, maka berbunyilah roti itu kena minyak didalam kuali, chur bunyinya. Maka oleh Pak Belalang dibilangnya dari tengah rumah itu, katanya, satu membilang roti itu.


Maka dengan takdir Allah, berkat ia bertawakal membuat pembohong itu, tatkala ia membilang roti itu maka kepala pencuri yang mengambil harta baginda itu ada orang terdiri dihalam Pak Belalang, barulah ia keluar dari hutan, kerana jalannya pergi datang itu dekat dengan rumah Pak Belalang. Kemudian chur bunyinya sekeping roti lagi, dibilangnya, dua. Maka pencuri itu pun sudah dua berdiri dihalamannya. Kemudian tiga, maka pencuri itu pun sudah tiga orang disitu. Kemudian tujuh keping roti dibilang oleh Pak Belalang, bersetuju dengan pencuri itu telah ada disitu ketujuh-tujuhnya.


Maka kata kepala pencuri itu, Hai kawan-kawan sekalian, ada pun kita ni sudah diketahui oleh orang tua Pak Belalang akan kita ada disini. Pada fikiranku, tentulah ia tahu kita tujuh orang ini yang mengambil harta raja itu dan sekarang baiklah kita pergi berjumpa dengan dia berkabarkan kesalahan kita yang mengambil harta raja itu. Jawab yang berenam itu lagi, baiklah mari kita pergi kabarkan supaya lepas nyawa kita mati dibunuh raja itu. Maka pencuri ketujuh itu pun pergilah mengetuk pintu Pak Belalang. Maka kata Pak Belalang siapa itu?


Jawabnya, kita hendak berjumpa dengan Pak Belalang. Maka dibuka oleh Pak Belalang pintunya lalu naiklah pencuri ketujuh-tujuh orang itu seraya duduk berjabat tangan dengan Pak Belalang. Maka kata Pak Belalang, dari mana datang dan apakah hajat? Maka jawab pencuri, kami datang ini minta nyawa kepada Pak Belalang. Jangan kamu sekalian dibunuh, kerana kamilah semua yang mengambil peti raja negeri ini, yang hilang tujuh biji itu. Oleh sebab jikalau tiada kita berkabarkan benar pun, Pak Belalang sudah tahu, kerana Pak Belalang di rumah, kami di tanah lagi belum nampak sudah Pak Belalang bilang.


Sebermula telah didengar oleh Pak Belalang akan perkataan pencuri ketujuh itu sangatlah sukacitanya sambil berdaham. Katanya, dengan sesungguhnya aku tahu. Masa anakku di tanah tadi aku bilang di rumah ini satu hingga ketujuh. Benar atau tidak bilangan aku itu? Maka jawab pencuri itu dengan ketakutan, benar. Itulah sebabnya kami sekalian takut akan Pak Belalang berkabar kepada raja, matilah kami sekalian di bunuh oleh raja itu.


Maka kata Pak Belalang, jikalau sungguh anakku sekalian berkata benar, tidaklah dibunuh oleh raja. Dimanakah harta raja itu sekarang? Jawab pencuri itu, adalah kami sekalian tanamkan disebelah selatan didalam hutan, lebih kurang ada sebatu dari sini. Kami sekalian tanamkan didalam tanah tiada apa-apa rusak, bolehlah Pak Belalang ambil harta raja itu balik. Maka kata Pak Belalang, baiklah, tetapi jangan membuat bohong. Tentu aku suruh bunuh kepada raja.


Maka bersumpahlah pencuri itu mengatakan tidak bohong sekali-kali. Kemudian roti yang dimasak oleh isteri Pak Belalang itu pun dijamukannyalah kepada pencuri-pencuri itu. Lepas makan mereka itu pun turunlah berjalan. Hatta, telah siang hari, Pak Belalang pun pergilah mengadap Raja Indera Maya seraya baginda bertitah, apa kabar, Pak belalang? Adakah dapat ditenungkan di dalam tib darihal itu?


Maka sembah Pak Belalang, insyaallah ta`ala, dengan berkat tinggi daulat dapatlah dalam tib-tib patik itu, Tuanku. Patik peroleh satu buku, didalamnya ada tersebut bahawasanya ada pun hartanya yang hilang tujuh orang, dibawahnya kesebelah selatan, sudah ditanamkannya didalam tanah, tetapi tiada rosak barang-barang itu lagi.


Setelah menitahkan dua orang menteri dengan seratus hulubalang dan lima ratus rakyat mencari peti baginda itu dengan segeranya, maka masing-masing menyembah lalu berjala. Maka baginda pun tinggallah dengan Pak Belalang di balairong seri dihadapi oleh bentara biduanda sida-sida sekalian.


Maka tersebutlah kisah menteri dengan hulubalang, rakyat pergi mencari harta itu. Selang beberapa lamanya sampailah kedalam hutan besar, ditujunya kesebelah selatan. Dengan takdir Allah subhanahu wata`ala betullah sampai mereka kepada tempat peti yang ditanamkan oleh pencuri itu, berjumpa dengan suatu lubang bekas ditimbus orang. Maka diambil oleh menteri anak-anak kayu suruh tikam kedalam tanah, lalu kenalah kepada peti itu, serta diangkat naik, dipikul oleh rakyat sekalian, dibawa balik mengadap baginda.


Maka baginda pun turunlah dari atas singgahsana sambil berkata, betullah sungguh Pak Belalang ini, besar untungnya dan kebaktiannya kepada aku. Baginda bertitah itu dengan teramat sukacitanya, seraya memandang kepada muka Pak Belalang. Titahnya pula, ada pun Pak Belalang ini telah beta gelar Ahlunnujum pada hari ini, dan barangsiapa memanggil Pak Belalang, beta guntingkan lidahnya.


Maka sekalian rakyat, menteri hulubalang pun mengatakan Ahlunnujum sekaliannya. Maka titah baginda, Hai ahlunnujum, beta anugerahi sebiji peti ini akan dikau, bawalah pulang kerumah, berikan kepada anak isteri engkau. Maka sembah Ahlunnujum Belalang, ampun Tuanku beribu-ribu ampun, patik mohonkan ampunlah dikurniakan harta itu, kerana ayapan yang kurniai oleh dulu Tuanku dahulu itu pun cukup patik ayapi anak beranak.


Maka titah baginda menyuruh juga hantarkan sebiji peti yang berisi emas, intan, ratna mutu manikam, kerumah ahlunnujum Belalang itu. Maka ahlunnujum pun bermohon kembali pulang kerumahnya dengan sukacita sekalian anak isterinya. Hatta, antara selang tiga bulan, masuklah pula tiga buah kapal membawa anak itik baru jadi, meminta kenalkan jantan betinanya. Maka kapal itu pun sampailah kepelabuhan. Juragannya naik kedarat mengadap Raja Indera Maya. Maka ada pun tatkala itu baginda sedang dihadapi oleh menteri, hulubalang, sida-sida, biduanda sekaliannya.


Maka juragan itu pun naiklah kebalai pengahadapan masuk mengadap dibawa oleh bahtera baginda. Serta baginda memandang, juragan pun bertelut kepada baginda. Sembahnya, ampun Tuanku beribu-ribu ampun, patik ini datang dari sebuah negeri kesebuah negeri membawa anak itik baru menetas, meminta kenalkan jantan dan betinanya patik persembahkan kebawah duli Tuanku kapal patik tiga buah itu dengan isinya, patik turun kain sehelai sepinggang sahaja. Tetapi jika Tuanku terkenal anak itik itu jantan betinanya, harapkan diampun beribu-ribu ampun, negeri Tuanku ini patik pohonkan supaya menjadi milik patik.


Maka sahut baginda, baiklah encik Juragan, beta minta tempoh tiga hari dahulu. Kepada hari yang ketiga itu pagi-pagi bolehlah datang bawakan anak-anak itik itu, boleh beta kenalkan jantan betinanya. Maka juragan itu pun bermohon balik kekapalnya. Maka baginda pun menitaahkan seorang biduanda panggil ahlunnujum belalang. Maka biduanda pergi kepada Ahlun nujum Belalang. Tatkala itu Ahlun nujum Belalang ada dirumahnya sedang merojak sireh hendak dimakannya. Maka biduanda pun naik. Katanya, Hai Ahlun nujum , titah memanggil bersama-sama sahaya mengadap dengan segeranya.


Jawab biduanda ada kapal masuk membawa anak itik baru menetas, minta kenalkan jantan betinanya. Itulah sebab Tuanku memanggil. Maka sahut Ahlun nujum Belalang, Baiklah, lalu ia mengambil tongkat berjalan bersama-sama dengan biduanda mengadap baginda kebalairong seri. Demi terpandang kepada Ahlun nujum, maka baginda pun bertitah, marilah kesini dekat dengan beta ini, hendak bermesyuarat.


Maka Pak Belalang pun datanglah hampir dengan baginda seraya meyembah. Maka titah baginda, apalah hal beta ini ahlun nujum? Ada pula masuk tiga buah kapal membawa anak itik baru menetas dari telur. Juragannya meminta kenalkan jantan betinanya, kepada beta. Jika tidak kenal, negeri ini pulanglah kepadanya. Maka sekarang apakah halnya beta hendak mengenalnya itu?


Setelah Ahlun nujum Belalang mendengarkan titah baginda, ia pun termenung seketika serta menyerahkan dirinya kepada Tuhan sarwa sekalian alam harapkan makbul sebarang maksudnya membuat perkataannya yang pembohong itu semuanya, Ampun Tuanku beribu-ribu ampun, titah Tuanku terjunjunglah diatas otak batu kepala patik. Maka dengan berkat tinggi daulat Tuanku adalah pula buku tib itu tinggal di rumah patik, dua tiga empat peti penuh berisi dengan pasal anak itik itu sahaja. Dan harapkan ampun patik bertempuh tiga hari mencari dalam tib itu. Maka titah baginda, baiklah.


Maka Pak Belalang pun bermohon balik pulang kerumahnya dengan dukacita yang teramat sangat kerana takut kalau kedapatan budi pembohongnya itu. Maka keluh kesahlah ia tiada lalu makan dan minum dan tidur, melainkan di dalam hatinya berkata, ya Allah, ya Rabbi, ya Saidi, ya Maulai. Kepada Tuhanku juga hamba menyerahkan diri, barang dimakbulkan kiranya seperti maksud dan hajat hamba ini akan mengetahui jantan betina anak itik itu dengan mudahnya.


Hatta, perjanjian dengan baginda itu pun sampailah dua hari sudah. Maka sangatlah dukacita Pak Belalang akan perkara yang disanggupinya itu. Setelah sampai kepada malam ketiganya, maka dengan takdir Allah subhanahuwata`ala dibukakan hatinya fikiran yang baik. Baiklah aku pergi bersampan berkayuh dekat-dekat kapal mendengar perkabaran itik itu.


Maka ia pun berkayuhlah dengan perahunya yang pipih supaya tidak kedengaran bunyi air. Setelah Pak Belalang sampai kepada kapal yang tiga buah berlabuh itu seraya perlahan-lahan mendengarkan apa-apa percakapan orang dikapal itu. Maka dengan takdir Allah subhanahu wata`ala melakukan kudrat diatas hambanya, pada ketika itu bercakaplah isteri juragan kapal itu dengan suaminya. Katanya ayuhi Encik Juragan, berapa lama sudah saya bersama-sama belayar menjajakan anak itik ini minta kenalkan jantan betinanya belum juga saya tahu bagaimana hendak mengenalnya itu. Jikalau sungguh kasih kepada saya tolonglah kabarkan supaya saya tahu.


Maka jawab juragan itu, ayuhai adinda, buah hati kekanda, tiadalah dapat kekanda hendak mengabarkan hal itu, takut didengar oleh orang, kerana esok hari hendak kekanda bawa mengadap raja negeri ini minta kenalkan jantan betinanya. Jikalau tiada lalu raja itu mengenalnya negeri ini kita miliki, dan jikalau lalu pula raja itu mengenalnya, kapal yang tiga buah ini pulang kepadanya. Kita sekalian turun kain sehelai sepinggang sahaja. Tetapi oleh kasih kekanda, kabarkan. Janganlah dicakapkan kepada orang.


Maka jawab isterinya, katakanlah supaya adinda dengar. Di mana pula ada orang tengah malam datang hampir kemari? Lalu dikabarkan oleh juragan kepada isterinya, katanya, jikalau hendak mengenal jantan betina anak itik itu, hendaklah dibubuh air didalam terenang. Mana-mana yang dahulu menyelam itulah betina dan yang kemudiannya jantan.


Setelah didengar oleh isterinya, ia pun diam. Lalu tidur kedua laki isteri menantikan siang. Shahadan maka Pak Belalang pun sekalian hal ehwal itu semuanya didengar. Sangatlah suka hatinya serasa mati hidup kembali, sambil berkayuh perlahan-lahan balik pulang kerumahnya. Setelah sampai lalu memanggil perempuannya emak Belalang. Maka emak Belalang pun bangun memebuka pintu. Maka kata Pak Belalang, ada \kah nasi emak Belalang? Aku lapar ini. Pergilah masak segera, apa digaduhkan masak nasi ransom? Belanja kita raja memberi.


Maka jawab isterinya, sudah ada nasi. Makanlah. Maka Pak Belalang pun bersalin kainnya lalu duduk serta memakan nasi. Setelah itu, ia pun tidur dengan kesukaannya. Seketika lagi hari pun sianglah lalu ia bangun duduk sambil merojak sirehnya. Sebermula, maka tersebutlah perkataan juragan kapal. Telah hari siang pagi-pagi hari, maka juragan pun bersiaplah lalu naik kedarat diiringkan oleh anak-anak perahunya membawa anak itik itu. Maka baginda pun hadir diatas singgasana tahta kerajaan dihadapi oleh sekalian menteri, hulubalang, sida-sida bentara, rakyat bala, hina dina hendak melihat temasya itu.


Hatta, baginda pun menitahkan seorang biduanda memanggil ahlun nujum Belalang dengan segeranya. Maka biduanda pun menyembah lalu turun berjalan kerumah Ahlun nujum Belalang. Maka katanya titah Tuanku memanggil Ahlun nujum. Juragan dan sekalian orang telah berhimpun dibalai semuanya. Maka Ahlun nujum pun bersiap-siapkan sirehnya lalu mengadap baginda. Maka sampailah kebalairung seri. Maka titah baginda, marilah kemari.

Maka Ahlun nujum Belalang pun dekatlah dengan baginda. Maka titah baginda, Apakah hal ahlun nujum hendak mengenal anak itik itu jantan betinanya? Maka sembah Pak Belalang. Ampun Tuanku beribu-ribu ampun, jenuh patikmencari di dalam tin patik. Maka dapatlah patik di dalam buku kecil sahaja, ada di dalam dua baris tertulis di tulis disitu mengatakan demikian, bahawasanya ada pun hendak mengenal anak itik itu jantan betinanya, hendaklah dengan air.


Maka titah baginda menyuruh ambilkan suatu terenang emas. Maka di bawa oleh dayang-dayang di persembahkan kepada baginda. Maka titahnya, inilah air, ahlun nujum. Maka sembah Pak Belalang, kemudian lepaskan seekor. Mana-mana yang dahulu menyelam, itulah yang betina dan yang kemudian menyelam itulah jantannya. Maka titah baginda, lepaskanlah. Sembah Pak Belalang, silakanlah Tuanku melepaskannya. Titah baginda, beta tiada tahu.


Maka Pak Belalang pun bangun seraya menyembah melepaskan itik itu. Maka apabila dilepaskannya seekor dalam terenan, maka anak itik pun menyelam. Maka sembah Pak Belalang, itulah betina, tuanku. Kemudian dilepaskan pula seekor lagi, lambat menyelam. Titah baginda, lambat pula menyelan itu. Sembah Pak Belalang, yang lambat menyelam itu jantan, Tuanku.


Maka baginda pun memandang kepada juragan kapal itu. Titahnya, apakah kabar Juragan? Betulkah seperti kata ahlun nujum ini, dimana hendak patik simpangkan perkataan yang sebenar itu? Maka titah baginda, jikalau begitu, baiklah perdana menteri beri juragan ini tiga buah perahu dan bekalnya sampai ia balik kenegerinya. Maka perdana menteri pun menyembah dan juragan kapal pun turun bersama-sama dengan menterinya seraya menyembah baginda. Kapal itu pun diserahkan kepada bendahara dengan isi-isinya.


Sebermula, tersebutlah kisah baginda itu pula memberi titah kepada Pak Belalang. Titahnya ayuhai saudara beta, ahlun nujum yang bijaksana, dengan kerelaan hati beta memberi sebuah kapal itu kepada saudara dengan isi-isinya. Maka sembah Pak Belalang, ampun tuanku beribu-ribu ampun, sembah patik harapkan diampun, sebenar sangat seperti titah itu, dengan sebolah-bolehnya patik mohon ampunlah dikurniai itu, kerana mana-mana harta yang duli Tuanku kurniakan dahulu sekarang telah sudah dihabiskan oleh didik itu bersuka ria, ampun tuanku bermain muda sahaja kerjanya.


Baginda pun tertawa gelak-gelak, titahnya, tiada mengapa, budak-budak sahajanya gemar main muda itu, tiada pula menjadi kesalahan. Tetapi kawinkan dia mana-mana yang diperkenankan dan kapal ini pemberian betalah kepadanya Si Belalang itu. Maka sembah Pak Belalang, daulat Tuanku. Maka kapal itu pun disuruh hantarkan kepelabuhan Pak Belalang, adanya.


Sebermula, telah selesai kisah anak itik itu, dengan takdir Allah subhanahu wa`tala, masuklah pula tujuh buah kapal membawa kayu yang teramat licin dan bulat, panjangnya kira-kira sehasta, nakhodanya itu pun naiklah mengadap baginda bermaklumkan halnya serta membawa kayu itu, dipersembahkan kepada baginda. Katanya, ampun tuanku beribu-ribu ampun, sembah patik harap diampun jua kiranya. Adalah patik datang ini mengadap tuanku membawa suatu kayu bulat licin semuanya. Patik minta kenalkan kayu tentukan ujung dan pangkalnya patik persembahkan ketujuh buah kapal patik ini, patik turun sehelai sepinggang sahaja.


Demi didengar oleh baginda sembah nahkoda itu, lalu titah baginda, baiklah beta minta tempoh tujuh hari kepada nakhoda. Setelah sudah, maka nahkoda kapal itu pun bermohonlah balik kekapalnya. Maka baginda pun bertitah menyuruh panggil Pak Belalang. Maka biduanda pun menyembah serta bermohon pergi mendapatkan ahlun nujum Belalang itu. Katanya, titah tuanku memanggil kebalai. Jawab Pak Belalang, apa pasal memanggil aku? Lalu ia pun turun dengan segera mengadap baginda bersama-sama dengan biduanda kebalai.


Hatta, setelah baginda melihat Pak Belalang datang itu, baginda pun memberi titah kepadanya, ayuhai ahlun nujum, apalah ikhtiar diri sekarang? Ada seorang nakhoda membawa kapal tujuh buah datang kepada beta, kerana ia ada membawa kayu bulat licin. Ia meminta kenalkan ujung pangkal kayu itu. Jikalau lalu terkenal oleh beta ujung dan pangkalnya, kapal yang tujuh buah itu diberikannya kepada beta. Jika tiada terkenal, maka negeri ini pulang kepadanya. Beta minta tempoh tujuh hari.


Arakian, telah Pak Belalang mendengar titah baginda, maka lalu ia mengangkat tangan mendatangkan sembah, ampun tuanku beribu-ribu ampun, sembah patik harap diampun, ada pun dari hal mengenal kayu, bolehlah juga patik kenalka, berkat tinggi daulat tuanku, kerana ada tujuh peti tib patik dirumah pasal mengenal kayu-kayu. Dan dua peti buku-buku pasal itu sahaja.


Titah baginda, baiklah boleh ahlun nujum lihat didalam buku-buku itu. Maka Pak Belalang pun bermohonlah kembalilah kerumahnya. Hatta, dalam pada itu sampailah perjanjian itu tujuh hari kepada malam. Maka daripada pagi-pagi hari nakhoda kapal pun bersiaplah dengan anak perahunya hendak naik kebalairung seri membawa kayu itu. Maka pada ketika hulubalang, sida-sida, bentara, penuh sesak hendak melihat temasya itu.


Maka hal Pak Belalang pada malam yang ketujuh itu turunlah ia kesampan berkayuh kekapal nahkoda itu daripada sebuah kapal kepada sebuah kapal. Hatta dengan takdir Allah subanahu wata`ala sampailah ia kekapal nahkoda yang jauh ditengah lautan sekali. Kepada masa itu nahkoda pun ada duduk sedang bermesyuaratkan darihal hendak membawa kayu itu esok harinya mengadap baginda. Maka kata sekalian anak-anak perahunya itu, ayuhai Tuan nahkoda, hamba sekalian pun sangatlah ajaib bagaimanakah hendak mengenali ujung pangkal kayu itu. Maka sahut nahkoda kepada anak-anak perahunya itu, janganlah kau sekalian cakapkan kepada orang rahsia ini, kalau didengar oleh orang rosaklah kita.


Maka kata sekalian anak-anak perahu itu, ya tuan nahkoda, dimana datang orang tengah malam ini? Maka kata nahkoda sekalian pun sangatlah ajaib bagaimanakah hendak mengenal ujung pangkal kayu itu, ada pun hendak mengenal ujung kayu itu dipegang sama tengahnya, diletakkan diatas air. Kemudian mana-mana dahulu yang tenggelam, disitulah pangkalnya.


Telah sudah nahkoda berkabarkan rahsia itu kepada anak-anak perahunya, semuanya didengar oleh Pak Belalang perkataan itu. Ia pun balik kerumahnya. Hatta, telah hari siang, pagi-pagi hari berhimpunlah sekaliannya. Maka nahkoda kapal itu pun naiklah mengadap baginda membawa kayu itu. Maka baginda pun bertitah suruh duduk seraya memandang kepintu balai penghadapan itu menantikan ahlun nujum Belalang, lalu naik keatas balai penghadapan seraya menyembah baginda. Maka ditegur oleh baginda sambil bertitah, marilah dekat dengan beta disini. Apa kabar dalam tib ahlun nujum itu?


Maka sembah Pak Belalang, ampun Tuanku beribu-ribu ampun, ada pun didalam tib patik darihal hendak mengenal ujung pangkal kayu itu hendaklah dengan air, tuanku. Maka titah baginda menyuruh ambil air kepada dayang-dayang pun mengambil air, dibubuh didalam batil emas, dibawa kehadapan baginda. Maka sembah Pak Belalang, tuanku lepaskan kayu itu. Maka titah baginda, beta tiada tahu. Ahlun nujum sendiri lepaskan.


Maka Pak Belalang pun menyembah baginda seraya mengambil kayu itu. Maka ditimbangnya betul sama-sama tengah kayu, dilepaskannya didalam air itu. Maka tenggelam sebelah dahulu. Titah baginda. Apa yang dahulu temggelam itu? Maka sembah ahlun nujum Belalang, ampun Tuanku beribu-ribu ampun, yang tenggelam itu pangkalnya dan ujungnya itu kemudian tenggelam kerana ringan dan pangkalnya itu berat.


Maka baginda pun memandang kepada nahkoda kapal itu seraya bertitah, apa kabar nahkoda adakah betul seperti kata ahlun nujum beta dan tiada? Maka sembah nahkoda itu, sebenarnyalah seperti kata ahlun nujum Tuanku itu. Apa hendak patik salahkan lagi? Sudah nasib patik, tuanku kerana patik dengar ahlun nujum tuanku ini arif bijaksana sangat. Inilah sebab patik mencuba kepandaiannya itu.


Maka sahut ahlun nujum, dengan sebenarnya juga encik nahkoda menyembah kebawah duli yanga maha mulia itu. Jikalau ada kepandaian arif bijaksana sekali pun jika tiada rajin usaha tiada berguna juga. Maka terasalah dihati nahkoda itu teringatkan tatkala anak-anak perahunya itu bertanyakan ujung pangkal kayu dahulu agaknya barangkali Pak Belalang itu mengendapmendengarkan kisah itu, kerana ada cakapnya itu berusaha. Tetapi itu fikiran didalam hatinya sahaja, tiada dikeluarkannya. Maka titah baginda menyuruh biduanda berikan ampun kurnia kepada nahkoda itu tujuh buah perahu serta belanja makanannya. Maka nahkoda itu pun turun dari kapal sehelai sepinggang sahaja. Maka kapal tujuh buah serta dengan isinya itu pulang kepada baginda semuanya. Maka nahkoda itu pun bermohon kepada baginda naik keperahunya langsung pulang kenegerinya.


Hatta, selang antara berapa lamanya, masuk pula sebuah kapal perdana menteri Askalan Rum mengadap baginda membawa surat rajanya kepada baginda. Tatkala itu baginda sedang semayam diatas takhta kerajaan dibalairung seri. Perdana Menteri itu pun naik lalu menyembah baginda dan mempersembahkan surat itu. Maka disambut oleh bentera dan dibaca dihadapan baginda. Demikianlah bunyinya:


Sembah sujud serta ta`zim serta takrim daripada anakanda Raja Baharum Indera Sakti dinegeri Askalan Rum, barang disampaikan kiranya mengadap kebawah tahta paduka ayahanda duli yang maha mulia. Ihwal anakanda maklumkan jikalau ada mudah-mudahan rahim kasihan belas ayahanda, anakanda pohonkan Ahlun nujum ayahanda, minta lihatkan anakanda kehilangan isteri anakanda baru kawin tujuh hari, sedang tidur dicuri oleh jin. Maka haraplah dipohonkan bersama-sama pacal Perdana Menteri itu.


Telah didengar bunyi surat itu, baginda pun menyuruh panggil ahlun nujum Belalang. Maka biduanda pun pergilah. Ada seketika lamanya, ahlun nujum Belalang pun sampailah bersama-sama dengan biduanda mengadap baginda. Maka baginda pun bertitah, hai ahlun nujum, ada pun sebab beta memanggil ini kerana ada sebuah kapal masuk kemari mengadap membawa surat darihal putera baginda negeri Askalan Rum hilang isteriny, ia sedang tidur bersama-sama dicuri oleh seorang jin. Adakah dapat ahlun nujum mengembalikan balik daripada jin itu?


Maka sembah ahlun nujum Belalang. Ampun tuanku beribu-ribu ampun, insya Allah ta`ala, berkat dengan tinggi daulat duli yang maha mulia, dari hal itu barangkali ada didalam tib-tib patik tangkal jin itu supaya ia takut. Maka titah baginda, baiklah boleh pergi sekarang bersama-sama Perdana menteri baginda ini. Maka sembah Ahlun nujum Belalang. Daulat tuanku, titah patik junjunglah. Patik pohon ampun pulang keteratak patik dahulu.


Maka titah baginda, usahlah balik dahulu. Belanja-belanja ada beta beri. Maka sembahnya, baiklah tuanku. Lalu ia menyembahkan kepada baginda bersama-sama turun kekapal Perdana Menteri itu langsung belayar kenegeri Askalan Rum. Selang antara beberapa lamanya, sampailah kejambatan larangan. Maka disambut oleh baginda itu menteri serta dengan Ahlun nujum Belalang. Maka datanglah putera baginda itu mendapatkan Pak Belalang dengan tangisnya. Titahnya , ayuhai bapa hamba, tolonglah hamba minta carikan isteri hamba yang telah dicuri oleh jin itu dengan segeranya.


Maka sembah Pak Belalang, ampun tuanku beribu-ribu ampun, pertetapkan juga hati tuanku, Insya Allah ta`ala patik pergi mencari paduka adinda itu. Maka baginda pun berangkat dari kapal naik keistana membawa Ahlun nujum Belalang, diperjamu makan dan minum tujuh hari tujuh malam, disembelih kerbau, lembu, ayam dan itik.


Hatta, lepas itu, Pak Belalang pun berdatang sembah kepada putera baginda itu. Sembahnya, ampun tuanku beribu-ribu ampun, nanti pada waktu dinihari tuanku titahkan sekalian isi negeri, rakyat bala tuanku pergi masuk kehutan sekalian isi negeri, rakyat bala tuanku pergi masuk kehutan sekaliannya mengikut patik. Tuanku pun bersama-sama berangkat. Apabila patik berhenti, tuanku sekalian rakyat pun berhenti jauh-jauh daripada patik, jangan dekat.


Maka putera baginda serta dengan dengan sekalian menteri, hulubalangnya pun mengakulah seperti sembah ahlun nujum itu. Telah malamlah, waktu dinihari, perdana menteri pun menyuruhkan sekalian rakyat isi negeri semua kehutan rimba belantara itu dengan terlalu amat kesusahannya. Hatta, apabila gari pun sudah cerah Pak Belalang pun berjalanlah bersama-sama dengan putera baginda itu diiringkan oleh menteri, hulubalangnya sekalian yang tiada tepermanai banyaknya. Maka antara beberapa lamanya sampailah Pak Belalang kepada sepohon kayu beringin ditengah padang , terlalu amat rendang pokoknya. Lalu berhentilah akan lelahnya teramat sangat, dan matanya pun mengantuk seperti diperekat rasanya. Ia pun berbaring dibawah kayu beringin itu lalu tertidur.


Hatta, dengan takdir Allah Tuhan sarwa sekalian alam, kepada ketika itu datanglah seorang tua, janggutnya putih hingga kepusatnya, seraya berkata dengan suara yang dahsyat. Sabdanya, hai Pak Belalang apakah pekerjaan engkau demikian ini sentiasa berbuat bohong sahaja, tiada perkataan yang sebenarnya? Maka Pak Belalang pun terkejut mendengarkan sabda orang tua itu, seraya menyembah, katanya, hamba tuan sungguhlah berbohong sahaja, kerana dengan hal mencari napakah hamba.


Maka sabda orang tua itu, dengan sebenarnya engkau berbuat bohong semata-mata, tetapi bohong engkau itu diperkenankan Allah ta`ala tiada menganiayai orang sekali-kali, semata-mata membuat kerana Allah memelihara raja sendiri daripada percubaan Tuhan sarwa sekalian alam keatas hambanya. Maka sekarang ini apalah pekerjaan engkau? Hendak kemana?


Maka sembah Pak Belalang didalam tidurnya, hamba tuan dititahkan oleh putera baginda ini meminta carikan isterinya dicuri oleh jin konon. Inilah hamba kerjakan. Maka sabda orang tua itu, bagaimanakah hal engkau hendak mencarinya itu? Maka sembah Pak Belalang, entahlah tuan tiada hamba tahu. Apakah nama tuan hamba?


Maka disahut oleh orang tua itu, betalah yang bernama nabi Allah Khidir, Kutubu`l alam menjaga hutan dan daratan dengan titah Tuhan beta. Ada pun darihal engkau hendak mengambil tuan puteri itu, inilah isim Allah ta`ala ya`ni tangkal yang ditakuti oleh jin, beta ajarkan. Bacalah kepada jin itu supaya ia lari. Kemudian engkau ambilah tuan puteri itu.


Maka diajarkannya suatu isim kepada Pak Belalang. Dapatlah olehnya. Maka sabda Kutubul`alam, ada pun sekarang jin itu sedang tidur memangku Tuan Puteri itu didalam suatu gua batu ditepi gunung. Segeralah pergi ketempat itu. Hatta, telah sudah berkata-kata Pak Belalang pun jaga daripada tidurnya. Maka dengan tiada lengah lagi lalu berjalan menuju kegunung itu. Maka putera baginda dengan menteri, hulubalang, rakyat pun bersama-samalah mengikuti jauh-jauh dari belakang. Dalam hal yang demikian sampailah kepada suatu gua batu. Betullah dilihatnya jin itu sedang memangku Tuan Puteri itu sedang tidur juga kedua-duanya. Maka balutlah mata Tuan Puetri itu bekas menangis. Tersangatlah belas kasihan Pak Belalang melihatnya. Maka segeralah ia membacakan isim Allah ta`alaseperti pengajaran Kutubul alam itu. Dengan berkat isim doa itu, dihembuskan oleh Ahlun nujum dikepalanya, maka jin itu pun terbanglah lari, tinggallah Tuan Puteri itu. Maka segeralah diambil oleh Pak Belalang dengan besar suaranya meminta tolong. Katanya, tolong Yuanku, segera ini adinda.


Maka apabila didengar oleh putera baginda dengan menteri, hulubalangnya maka sekalian rakyat pun berhimpum mengiringkan puteri itu, diletakkan diatas geta yang keemasan, dihadapi oleh dayang-dayang, bentar, sida-sida sekalian bertunggu menjaga Tuan Puteri itu lagi pengsan tiada sedarkan dirinya. Maka diambil oelh Pak Belalang air, dibacanya isim tadi, disiramkan pada seluruh tubuhnya.


Maka Tuan Puteri pun sehatlah sedikit lalu bangun duduk santap nasi. Maka putera baginda itu pun teramatlah sukacita melihat isterinya sudah didapati, lalu duduk disitu serta memuji-muji ahlun nujum itu, lalu menitahkan menteri hulubalang rakyat hina dina sekalian bersiap hendak kenduri melepaskan nazarnya, menyembelih kerbau, lembu, ayam dan itik makan minum tujuh hari tujuh malam.memberi sedekah kepada fakir miskin dengan beberapa pula hadiah kelelahan ahlun nujum Belalang itu, dikurniakan oleh baginda daripada harta emas, perak, kain baju dan hamba, dan kapal sebuah, cukup dengan isinya kapal itu.


Maka ahlun nujum Belalang pun mengajar putera baginda itu akan isim yang diajarkan oleh Kutubul alam itu, di perbuat tangkal Tuan Puteri itu, supaya jangan dicuri oleh jin itu balik. Maka kepada ketika yang baik, Pak Belalang pun bermohon hendak balik kenegerinya dihantar oleh putera baginda itu kedua laki isteri hingga kekapal serta dipasangkan meriam alamat tanda kebesaran diatas ahlun nujum itu. Setelah sampai kapal. Putera baginda itu pun berpeluk bercium denga ahlun nujum Belalang, bertangis-tangisan. Lalu berangkat kembali keistananya. Maka ahlun nujum Belalang pun belayarlah pulang kenegerinya.

Si Boru Deak Parujar

Ktuk… ktuk… ktukktuk! Tiba-tiba Siboru Deak Parujar menghentikan alat tenunnya. Pekerjaan sehari-hari Siboru Deak Parujar memang lebih banyak bertenun. Selain bertenun, terkadang merasa lelah karena duduk berlama-lama menyelesaikan tenunannya. Namun untuk melepaskan rasa lelah dia pergi ke bawah pohon Tumburjati. Pohon kehidupan itu terasa rindang bagi semua penghuni Banua Ginjang atau kahyangan. Letaknya dari beberapa hunian di kahyangan tidaklah sesunyi Porlak Sisoding, taman tersembunyi yang menyimpan hal-hal rahasia. Pohon Tumburjati kelihatan selalu ramai seperti ranting dan daunnya. Di sanalah mereka mendapat pengetahuan atas berbagai hal, termasuk kodrat masing-masing. Kalau daun Tumburjati gugur, semua penghuni kahyangan langsung dapat mengartikannya. Daun-daunnya yang menangkup ke lapis langit pertama dan tertinggi seakan memohon agar tidak gugur sebelum waktunya. Namun ada kalanya dari daun termuda terpaksa jatuh bersama ranting yang patah.

Di puncak ketinggian pohon kehidupan itu hinggap seekor unggas bernama Manuk Hulambujati. Tidak terbayangkan ketinggian pohon kehidupan itu. Sehingga ada kalanya nama pohon itu disebut Hariara Sundung di Langit, yang artinya beringin yang condong di langit. Manuk Hulambujati tentu selalu hinggap di puncaknya pada waktu-waktu tertentu; di suruh atau tidak. Namun unggas itu adalah induk tiga telur besar yang pernah mengandung Batara Guru serta dua dewa lain yang bernama Debata Sori dan Mangalabulan. Suatu ketika juga Manuk Hulambujati bersedia mengeramkan tiga telur lagi; kelak yang dikandungnya adalah pasangan ketiga sang dewa. Siboru Parmeme menjadi pasangan Batara Guru, Siboru Parorot untuk Debata Sori, dan Siboru Panuturi untuk Mangalabulan. Siboru Deak Parujar adalah putri bungsu Batara Guru


Berkali-kali pergi ke bawah rindang Tumburjati, Siboru Deak Parujar selalu sempat melihat Manuk Hulambujati bertengger. Cara hinggap unggas itu seperti cahaya bintang-bintang yang berkejaran. Moncongnya berpalang besi, kukunya bergelang kuningan, dan sosoknya sebesar kupu-kupu raksasa nan berkilau. Terkadang tanpa perduli Siboru Deak Parujar menghalau unggas itu agar berkenan turun dan mau bercengkerama dengan dia.

“Wahai, Manuk Hulambujati. Mengapa engkau tak mau turun untuk bersamaku di sini? ” Terketus ucapan itu dari Siboru Deak Parujar karena sang unggas tak pernah turun dari puncak pohon. Sebenarnya dia tidak perlu mengeluarkan ucapan serupa karena ada larangan dari Batara Guru. Manuk Hulambujati benar-benar bukan sembarang unggas. Tidak ada yang dapat menyuruh Manuk Hulambujati turun dari puncak pohon, kecuali Ompung Mulajadi Nabolon. Ompung Mulajadi Nabolon, sebagai Sang Pemula Akbar dari segala yang ada, telah mencipta dan menetapkan kodrat tertentu bagi Manuk Hulambujati. Unggas itu merupakan salah satu suruhan Mulajadi Nabolon, di samping nama lain seperti Leang-leang Mandi, Leang-leang Nagurasta, dan Untung-untung Nabolon. Masing-masing diciptakan Mulajadi Nabolon sebelum Tumburjati dan sesuai dengan fungsinya. Leang-leang Mandi atau layang-layang mandi menjadi pelayan inti dan penyampai pesan kalau Manuk Hulambujati membutuhkan bantuan Mulajadi Nabolon. Demikian kelak perannya bagi siapa yang membutuhkan bantuan dari Mulajadi Nabolon. Sedangkan Leang-leang Nagurasta hanya sahabat Leang-leang Mandi. Manuk Hulambujati ada kalanya mirip dengan Untung-untung Nabolon. Manuk Hulambujati bagi semua penghuni kahyangan cukuplah dipandang saja dari jauh dan saat bertengger karena fungsinya sudah selesai mengawali kehidupan manusia di Banua Ginjang.


“Ibunda,” tiba-tiba Siboru Deak Parujar mendekat pada ibunya. “Mohonlah terangkan mengapa daku tak bisa mengajak Manuk Hulambujati bercengkerama.” Keingintahuannya masih bernada memaksa. Namun jawaban dari Siboru Parmeme tetap seturut pesan yang mereka terima bersama Batara Guru. “Jangan. Pantang. Awas terlanjur!” Itulah pesan keramat yang diterima untuk menghormati Manuk Hulambujati.

Akhirnya Siboru Deak Parujar tak lagi memaksa diri. Pasti dia tahu suatu waktu soal Manuk Hulambujati. Setiap kali kembali ke bawah rindang Tumburjati, diam-diam dia mendengar cerita yang bisa muncul di situ. Diapun lama-lama menjadi seperti penghuni yang lain di lapis kedua Banua Ginjang. “Lebih baik kunikmati saja kebahagiaan seperti apa adanya di kahyangan ini,” pikirnya. Perhatiannya pun semakin biasa memperhatikan keturunan dewa lain. Maklum, Siboru Deak Parujar mulai remaja.


Suatu ketika dia terdorong kembali ke bawah pohon Tumburjati. Namun tidak sendirian. Dia sengaja mengajak Siboru Sorbajati. “Ayolah, kakakku. Temani aku menikmati suasana di bawah pohon Tumburjati.”


“Baiklah, adinda,” jawab si putri sulung atau anak kedua Batara Guru itu. “Akupun sudah agak lama tidak ke sana.” Sebelum beranjak, mereka berdua tak lupa merapikan letak hulhulan, penggulungan besar untuk benang tenunan. Nampaknya mereka berdua sama-sama kurang bersemangat mempersiapkan tenunan baru. Sebelum tiba di sekitar pohon Tumburjati, mereka mulai memperbincangkan kelak pasangannya. Siboru Deak Parujar tidak berani menunjuk siapa gerangan yang menarik hati dari antara keturunan dewa.


“Kita semua di lapis kedua kahyangan ini keturunan dewa. Siapapun yang menjadi pasanganku nanti, lebih baik daripada tidak ada.” Begitulah kata Siboru Sorbajati dan meneruskan: “Seandainya ayah kita berkenan juga menjodohkan aku dengan Siraja Odap-odap, aku akan turut juga.”


Perkataan terakhir bagi Siboru Deak Parujar terasa menyindir. Sudah lama nama tersebut ingin disingkirkannya. Namun Mulajadi Nabolon sudah mengatur semua kalau keturunan ketiga dewa mengambil pasangan dari antara mereka. Keturunan laki-laki Batara Guru mendapat pasangan dari putri Debata Sori. Anak laki-laki Debata Sori dari Putri Mangalabulan. Sedangkan anak Mangalabulan harus mendapatkan pasangannya dari putri Batara Guru.



“Ah, berpapasan saja aku tidak akan mau dengan anak Mangalabulan itu!” Siboru Deak Parujar melepaskan ketakutannya berpasangan dengan Siraja Odap-odap. Siboru Sorbajati sebenarnya sudah pernah ditawarkan perjodohan itu. Namun dia merasa lebih baik melompat dari balkon rumah dan ingin menjadi batang enau daripada melihat wajah Siraja Odap-odap. Tadinya dia memang hanya ingin mengetahui perasaan adiknya.



“Baiklah kita tidak meneruskan langkah ke sekitar Tumburjati. Mungkin Siraja Odap-odap sedang menunggu kita di sana.”



Mereka pun kembali meneruskan gulungan benang tenunnya sampai memulai tenunan baru. Ktuk… ktuk… Ktukktukktuk! Ktuk… ktuk… ktukktukktuk…. Berhari-hari dan berbulan-bulan.



Batara Guru dari bagian biliknya nampak tidak sabar lagi untuk mendesak salah satu putrinya untuk dipersunting Siraja Odap-odap. “Kemarilah kalian berdua,” panggil Batara Guru.


“Aku masih meneruskan tenunanku!” Sahut Siboru Deak Parujar. Siboru Sorbajati akhirnya melangkah sendiri memenuhi panggilan Batara Guru. Namun sebelum bertemu muka dengan sang ayah, dia sudah mendengar suara-suara yang menanti di halaman rumah. Pikirnya, pasti mereka itu keluarga Mangalabulan sambil menghantar Siraja Odap-odap. Lalu tanpa perlu ketemu lagi dengan Batara Guru, Siboru Sorbajati benar-benar melakukan niatnya dengan melompat dari balkon rumah sambil menyumpahi diri agar menjadi batang enau saja.


Kejadian itu mengejutkan keluarga Mangalabulan. Namun mereka masih berharap dengan satu lagi putri Batara Guru.


“Siboru Sorbajati lebih suka mengutuk dirinya daripada patuh kepada ajar. Satu lagi putri kakanda yang sangat turut pada ajar, pastilah itu Siboru Deak Parujar.” Begitulah Mangalabulan menyampaikan harapan kepada Batara Guru agar segera meresmikan perjodohan dengan anaknya, Siraja Odap-odap. Mendengar harapan itu Batara Guru segera memanggil Siboru Deak Parujar.


“Tidak, ayahanda. Lagi pula tenunanku belum selesai,” begitulah selalu reaksi Siboru Deak Parujar setiap kali Batara Guru mendesaknya. Sampai-sampai Batara Guru mulai merasa malu kepada keluarga Mangalabulan. “Selesai atau tidak tenunanmu,” tegasnya ke arah Siboru Deak Parujar, “engkau harus bersedia menerima Siraja Odap-odap. Engkau tak perlu melihat rupa dan mencari alasan.” Perkataan Batara Guru itu membuat Siboru Deak Parujar mulai gemetar. Berkali-kali dia mencari alasan dengan tenunan yang belum selesai. Besok hari sebelum matahari terbit Batara Guru memaksanya menikah dengan Siraja Odap-odap.


“Ah!” desahnya dalam hati. “Simuka kadal itu dijodohkan jadi suamiku?” Benar-benar dia tak mau terima. Lalu tekanan itu mendorong dia merencanakan sesuatu. “Biarlah aku terjun seperti kakakku Siboru Sorbajati.” Demikian dalam hatinya. Namun dia masih tetap berpikir ke mana akan terjun. Sebelum ditemukan caranya untuk menyingkir besok hari, Siboru Deak Parujar mengalihkan perhatian kembali pada tenunannya. Ktuk… ktuk…ktukktukktuk….


Sampai menjelang pagi dia mengeluarkan bunyi alat tenunnya itu sambil menikmati. Tiba-tiba dia terpikir melemparkan hasoli, salah satu dari alat tenunnya. Di dalam hasoli itu masih tergulung benang yang dipindah dari hulhulan. Sebelum matahari terbit benar-benar akan dilemparkannya ke arah tempat gelap.


Semalaman Batara Guru tetap berjaga agar putrinya tidak melarikan diri. Tiba-tiba bunyi alat tenun Siboru Deak Parujar didengarnya mulai berhenti. “Putriku, Deak Parujar!” Dicoba dari biliknnya memanggili. Namun sekali saja Siboru Deak Parujar menyahut panggilan Batara Guru, dia sudah bergayut pada benang yang menjulur entah sampai ke mana. Perlahan dia semakin turun, nampaknya dunia bawah tidak jelas dan sangat gelap. Angin kencang dan lebih dahsyat kacaunya dari sebelum penciptaan kahyangan. Angin kencang itu membuatnya terayun-ayun dan hampir terlempar. Sampai terang matahari sedikit menyinari bawah kahyangan itu, dia melihat semuanya nun di bawah tanpa tempat berpijak. “Leang-leang Mandi, Untung-untung Nabolon…!” Dipanggilnya pesuruh Mulajadi Nabolon itu sambil berteriak. “Kumohonkan agar engkau meminta sekepul tanah untuk tempatku berpijak di bawah sana! Aku tak mau kembali ke Banua Ginjang.” Mulajadi Nabolon tidak menolak permintaan Siboru Deak Parujar karena tidak ingin menghukum. Namun ketika sekepul tanah yang dikirimkan Mulajadi Nabolon ditekuk Siboru Deak Parujar, langsung terhamparlah tempat berpijak yang sangat luas dan menjadi awal terjadinya bumi atau yang disebut Banua Tonga.


Belum sempat merasakan keberhasilan melarikan diri dari Banua Ginjang dan mencipta Banua Tonga, Siboru Deak Parujar tiba-tiba merasa oleng dan terlempar ke bumi yang dipijaknya. Dia merasa tanah yang ditekuknya itu cukup tipis dan tidak kukuh. Dia ingin memanggil Leang-leang Mandi. Namun suaranya tertahan karena guncangan besar. Guncangan itu menghancurkan bumi yang ditekuknya. Seekor raksasa besar bernama Naga Padoha ternyata si pelaku guncangan besar itu. Entah bagaimana caranya Naga Padoha sekonyong-konyong dapat berada di bawah tanah sebelum melakukan guncangan besar. Konon Naga Padoha dianggap masih dari garis Mangalabulan dan pernah frustrasi disebabkan jodohnya tak pernah berhasil dengan Nai Rudang Ulubegu. Mungkin juga Naga Padoha merasa lebih baik melamar Siboru Deak Parujar.


“Ompung Mulajadi Nabolon, mohon kirimkan kembali sekepul tanah lewat pesuruhmu Leang-leang Mandi!” Permohonannya itu tidak lama sampai untuk ditekuk kembali, lengkap dengan sebilah pedang dan tutup kepala. Tutup kepala itu untuk dipakai Siboru Deak Parujar menghindari terik delapan matahari yang diciptakan Mulajadi Nabolon untuk sementara mengeringkan banjir air di Banua Tonga. Sedangkan sebilah pedang itu digunakan untuk menaklukkan Naga Padoha.kalau guncangan besar masih selalu dilakukan. Pedang itu sempat ditancapkanya ke bagian kepala Naga Padoha ketika tekukan kedua itu beberapa saat masih diganggu.


Bumi sudah tercipta oleh Siboru Deak Parujar. Naga Padoha pun sudah ditaklukkan. Begitupun, sesekali Naga Padoha masih akan mengguncang dari Banua Toru, tempat segala kegelapan, kejahatan, dan kematian yang dikuasai iblis itu. Namun penangkal untuknya sudah cukup dilakukan oleh Siboru Deak Parujar dengan cukup menyerukan: “Suhul! Suhul!” Artinya meneriakkan gagang pedang itu saja Naga Padoha akan merasa takut dan segera menghentikan guncangan.


Terciptanya Banua Tonga oleh Siboru Deak Parujar membutuhkan jenis-jenis kehidupan lain. Lalu dia masih melakukan permintaan kepada Mulajadi Nabolon agar mengirimkan bibit-bibit tumbuhan dan hewan. Mulajadi Nabolon memasukkan semua bibit itu ke dalam potongan batang bambu sebelum Leang-leang Mandi melemparkan ke hadapan Siboru Deak Parujar. Namun satu hal di antara segala jenis bibit itu, Siboru Deak Parujar tidak mengetahui satu hal. Dia baru tahu kemudian setelah semua jenis bibit itu disebar ke seluruh penjuru, di antaranya bercampur jasad Siraja Odap-odap yang dicincang teramat kecilnya. Menunggu tiba waktu dan rasa kesepian muncul dalam diri Siboru Deak Parujar, jasad Siraja Odap-odap yang terberai itu menyatu kembali atas perkenan Mulajadi Nabolon. Dihampirinya Siboru Deak Parujar di sebuah pancuran yang dihalangi rimbun tetumbuhan. “Ohhh!” Siboru Deak Parujar hanya terkejut sejenak.


Pertemuan Siboru Deak Parujar dengan Siraja Odap-odap di Banua Tonga tak bisa lagi ditolak. Mulajadi Nabolon memberkati mereka hingga melahirkan manusia pertama di bumi. Manusia pertama itu adalah Raja Ihat Manusia dan pasangannya bernama Itam Manusia. Setelah melahirkan manusia itu Siboru Deak Parujar dan Siraja Odap-odap harus kembali ke Banua Ginjang. Mereka naik ke Banua Ginjang melalui seutas benang. Sempat manusia di bumi itu terikut menaiki benang. Namun kemudian terputus. Perpisahan ini sungguh menyedihkan. Namun Siboru Deak Parujar masih berujar kepada Raja Ihat Manisia: “Kalau kalian rindu kepadaku, terawanglah purnama bulan. Di situlah aku kelihatan kembali bertenun.”

Guru Saman dari Lau Balang

Di tengah sebuah hutan terdengarlah suara yang sumbernya berubah-ubah. Suara itu memanggil-manggil satu nama: Saman! Saman! Saman! Lalu seorang laki-laki entah dari mana seperti ingin menghadapi suara itu. Namun dengan gaya pencak dan satu dua loncat salto, laki-laki itu nampak menyatu dengan irama suara yang memanggil-manggilnya. Laki-laki itu bermata merah, kumis melintang, dada berbulu, dan berambut panjang serta janggut tak beraturan. Dialah Guru Saman yang mengaku dari Lau Balang Tanah Karo.

“Guru…!” Saman dengan lantang menghadap suara itu dan meneruskan isi hatinya. “Ilmu yang kuterima dari Guru sudah kucoba!.”

“Saaamaaan!”

“Guuuru!”

“Tapi ilmu itu pergunakanlah sebaik-baiknya. Ingat, ada tiga syarat ilmu itu.” Suara itu perlahan dan bergema kembali.

“Guuuru!”

“Kau tidak boleh membunuh yang tidak bersalah kepadamu, tidak boleh membunuh anak-anak, dan….”

“Satu lagi, Guuuru!”

“Dan kau tidak boleh membunuh wanita yang sedang berbadan dua!”

“Baiklah, Guru.” Ketus Saman sebelum beranjak dari tempatnya bersila. Niat lamanya hendak pergi ke daerah Sipahutar tak dapat lagi dipendamnya. Dari hutan itu Saman melewati berbagai tempat dan singgah sebentar-sebentar di keramaian kampung dan pasar. Di Merek dan Saribudolok dia sempat menyantap makanan kesukaannya, yakni anak babi kecil yang dipanggang!

“Jangan lupa bikin cabenya sebesar anak babi itu juga!” Itu dipesan kepada penduduk yang diancamnya atau kepada penjual makanan di kedai-kedai tertentu. Namun setelah puas menyantap pesanannya, Saman lari dan menghilang seketika. Dia tidak bayar satu sen pun. Begitulah caranya.

Sampailah dia di Sipahutar, melewati Siborong-borong dan Garoga tempatnya menang bermain judi untuk sekian kali. Dia memang suka judi sejak kecil dan itulah caranya mencari uang. Di Sipahutar dia langsung menuju sebuah kedai tuak yang letaknya di sekitar simpang empat. Kedai tuak itu milik Jakobus dan putri satu-satunya yang bernama Marsella. Jakobus dan Marsella dikejutkan oleh Saman dengan melompat dan duduk seenaknya ke atas meja sambil menancapkan belatinya.

Lit lau pola?” pertanyaan ini menimbulkan rasa bingung pemilik kedai. Maklum, di sekitar Sipahutar tak pernah dialek Karo digunakan. Mereka sama sekali tak mengerti cakap Saman yang sebenarnya hanya bertanya: ada tuak?

“Maaf, maaf. Tak ada di sini yang taralit, amangboru!” sambut Marsella dengan lugu dan gemetar lagi memegang lengan ayahnya. Mungkin Marsella mengira Saman seorang dukun pijat yang biasa menyembuhkan orang-orang yang taralit, keseleo. Jakobus juga tak sanggup menelan tambul daging di mulutnya karena terkejut. Sisa tuak di gelasnya segera di teguk. Dari tadi Jakobus mengawali minum tuak, sekedar menimbang raru, ragi tuak dari jenis pohon tertentu yang rasanya pahit dan kelat.

Lauuu pooola, kataku!” Saman mulai geram mengulangi permintaannya.

“Oh, maksudnya yang marimpooolaaa…?”

“Diam itu mulutmu. Ini menit, ini detik belati dapat membunuh kalian berdua!” Saman menarik belatinya karena merasa dipermainkan. “Aku minta segera, bikin tuuuwwaaak!”

Tuak pun segera diambil dari poting, tabung tuak dan dituangkan ke cangkir bambu. Sekali dua teguk Saman minum tuak itu seperti kehausan saja. Berkali-kali dia minta tambah, sebanyak itu pula pemilik kedai merasa keberatan.

“Tuaknya sudah habis, Amangboru,” kata Marsella.

“Diam kau! Kalau tak ada lagi tuak, darahmu pun bisa kuminum!” Kalimat seperti itu nadanya pasti mengancam. Sehingga pemilik kedai tak mampu menolak. Seketika tak terhitung tuak yang direguk Saman. Matanya semakin merah dan menakutkan. “Among!” teriak Marsella setelah memperhatikan gaya Saman. “Sebentar kita pasti ditelannya!”

Hari mulai senja. Penduduk pasti mulai pulang dari ladang dan sawah. Namun ada juga yang selalu singgah di kedai tuak. Benar! Hermanus, seorang hampung, kepala desa bersama ketiga adiknya sudah terbiasa singgah di kedai tuak Jakobus. Mereka pulang dari hutan mencari gelondongan kayu yang dijual untuk bahan bangunan rumah di Tarutung dan Sibolga.

“Tuak, Jakobus!” Permintaan khusus Hermanus sudah dimengerti oleh Jakobus. Namun dibisikkannya kepada Marsella agar tuak untuk Hermanus ditambah saja dengan air beras atau air hujan. Soalnya Hermanus sudah punya tumpukan hutang enam bulan dan belum bisa dilunasi kepada Jakobus. “Rarunya tambahi ya, boru!” pura-pura Jakobus setengah berteriak menyuruh borunya, putrinya. Adik-adik Jakobus nampaknya sudah kehausan juga.

“Jakobus, tambahi tuaknya,” pinta Hermanus sambil memperhatikan seseorang yang menurutnya tidak sopan duduk di meja sebelahnya. Setelah tuak yang dicampur itu ludes juga mulai ditegurnya Saman agar turun dari meja itu. Saman lalu tersentak dan berkata: “Sesukaku saja. Kalau aku suka duduk di atas kepalamu, aku akan duduk. Sekarang apa maumu melarangku?” Mengucapkan kalimat terakhir Saman melompat dan hendak menyerang Hermanus.

“Tunggu dulu,” kata Hermanus seketika. “Kita sudah sama-sama orangtua. Tapi kau kelihatannya tak bisa sopan. Kau mau tunjukkan matamu yang merah di sini? Bagiku mata merah sama saja dengan mata ikan busuk. Juga dengan kumis serammu, bagiku itu seperti misai kambing. Sekarang marilah kita bertaruh!”

Pertaruhan mulai bikin Jakobus dan Marsella kembali ketakutan. Mereka tak berdaya mengusir. Apalagi karena langkah dan jurus-jurus silat menghentak ke sana kemari. Setelah beberapa langkah tiba-tiba Hermanus dan Saman berhenti dalam pertemuan titik pukul yang serupa.

“Bahhh,” Saman merasa heran. “Aku keluarkan jurus silat tertentu, kau ikuti juga begitu.”

“Kau juga meniru jurus pukul yang kukeluarkan,” tandas Hermanus.

“Lantas, kenapa bisa sama? Siapa gerangan gurumu?” Sergah Saman.

“Hmmm,” Hermanus iseng senyum. “Mendengar nama guruku, nanti misaimu bisa turut gemetar. Guruku adalah Guru Saman!”

“Hei, kau tak mengenalku?” Tanya Saman meyakinkan.

“Pweh! Aku tak kenal kau. Beguattuk kau!” Hermanus tak perduli dengan mengatakan begitu: beguattuk, kolera atau sampar. Namun itu akhirnya membuat Saman mulai tertawa.

“Akulah yang kau sebut itu gurumu. Guru Saman!” Seketika mendengarnya Hermanus tunduk dan memanggil adik-adiknya. Hermanus mengenalkan ulang ketiga adiknya yang dulu masih kecil-kecil waktu Hermanus berguru pada Saman. Satu per satu kembali diingatkan kepada Guru Saman. “O, ini yang namanya Paulus. Ini Sem. Ini Eli, sudah jadi orang baik-baik. Sekarang kita minum tuak lagi.”

Nampaknya tuak benar-benar sudah habis di kedai Jakobus meskipun malam belum larut. Hermanus lalu menyuruh Paulus dan Sem mencari tuak ke tempat lain. Sementara Eli disuruhnya lebih cepat ke rumah agar dapat menyediakan sajian sampai pagi hari untuk Guru Saman. Kehadiran Guru Saman di rumah itu menimbulkan rasa bangga bagi Hermanus. Mereka mengikat janji; apabila disakiti orang lain, mereka akan sama-sama sakit hati dan membalasnya. Ketiga adik Hermanus juga diajari Guru Saman bermain silat. Rasa takut mereka bermain silat diuji dalam gelanggang yang penuh kaca. Gelanggang itu terletak di belakang rumah Hermanus. Selain melatih ketiganya, Guru Saman mengisi hari-harinya di Sipahutar mencari pemain judi di kedai tuak atau di keramaian.

Suatu ketika Hermanus duduk terhenyak di rumah. Dia baru saja pulang dan merasa dihina Guru Martin karena uang yang dipinjam harus dikembalikan. Cara meminta Guru Martin juga di depan orang banyak dianggap sengaja hanya mempermalukan Hermanus. Itulah yang membuatnya sangat tersinggun dan marah mengeluarkan belati ke arah Guru Martin. Dalam kejadian itu, istri dan dua adik Hermanus hampir terlibat mengikuti tindakan Hermanus. Malahan sebelum meninggalkan tempat keributan itu, Hermanus mengancam orang ramai.

“Siapa dari kalian masih ikut berkumpul minggu depan, akan ikut kubunuh!” Begitulah ancaman diterima orang ramai setelah Guru Martin dapat disingkirkan Jakobus, pemilik kedai tuak serta Eli, adik Hermanus yang selama ini tidak menyukai keributan itu. Kejadian itu terus menghantui pikiran Hermanus sampai salah seorang adiknya muncul kembali lebih dulu.

“Kakanda, aku telah berikan jaminan kepada Guru Martin. Aku sampaikan kepada Guru Martin kalau aku akan membayar hutang pinjaman itu dalam tempo seminggu.” Demikian dari Eli setelah beberapa langkah masuk dari pintu rumah. Namun kemarahan Hermanus masih merasa lebih penting dari jaminan yang disampaikan oleh Eli.

“Hutang pinjaman itu? Kau saja tak mampu penuhi kebutuhan anak istrimu. Sok jago kau!” Seketika ucapan itu berakhir, menyusul pula tendangan Hermanus kepada Eli. Paulus dan Sem tiba-tiba muncul. “Habisi saja dia, kakanda,” serentak keluar dari mulut kedua adiknya.“Guru Saman sebentar lagi akan datang.”

Memang Guru Saman sangat dinantikan Hermanus. Sehingga sepulang dari keributan itu dia sengaja menyuruh Paulus dan Sem mencari Guru Saman. Ketika Guru Saman mendekat pintu masuk suaranya sudah kedengaran. Nadanya agak lain.

“Horas, guru!” Hermanus menyambut ke arah pintu. “Mohon guru duduk dulu,” tambah Hermanus sebelum menyampaikan isi kepalanya.

“Hermanus, kau menyuruh kedua adikmu ini memanggilku. Aku pas di gelanggang judi dan kalah. Apa gerangan yang sangat penting?” Wajah Guru Saman kelihatan dingin.

“Begini, guru. Ada seseorang yang baru melecehkan guru. Katanya ilmu Guru Saman tidak seberapa tinimbang ilmu yang dimilikinya,” Guru Saman langsung terkesiap mendengar penyampaian Hermanus. Namun dia mulai mengumpulkan amarahnya. “Kami tidak setuju dengan caranya itu, guru!”

“Siapa orang yang kurang ajar itu?” Tanya Guru Saman sambil berdiri.

“Guru Martin, guruuu…!” bersamaan mereka menjawab selain Eli. Guru Saman memang sudah lama mendengar nama tersebut. Guru Martin adalah seorang panutan di lingkungan masyarakat. Dalam menimbang-nimbang hal tertentu dari nama itu, Hermanus menyela bayangan Guru Saman.

“Guru, lebih baik kita membunuh Guru Martin itu!”

“Yah, aku sudah lama tidak membunuh manusia. Persiapkanlah semua untuk membunuh yang kau sebut itu,” tandas Guru Saman. Mereka berencana membunuh pada malam hari sebelum keesokan orang-orang berkumpul di rumah Guru Martin. Paulus, Sem, dan Eli dimintai sumpah untuk pembunuhan itu. “Dengke ni Sabulan tu tonggina tu tabona, manang ise siose padan turipurna tu magona,” demikianlah penutup sumpah itu diucapkan ditekankan Guru Saman. Pembunuhan itu diumpamakan seperti manis dan enaknya ikan dari Negeri Sabulan. Siapa di antara mereka yang abai sumpah itu akan hilang lenyap.

Malam hari di sekitar rumah Guru Martin, mereka sudah mulai mengendap-endap. Di dalam rumah Guru Martin dengan Klara, istrinya yang sudah hamil tua masih bercakap-cakap. Kander, anak mereka yang berumur tiga tahun tentu sudah lelap dan sebentar lagi akan ditemani sang istri ke kamar. Ketika Hermanus merasa istri Guru Martin sudah masuk kamar, dia mengetuk pintu.

“Guru! Guru! Aku Hermanus. Aku mau bayar hutangku itu,” demikian Guru Martin ingin diyakinkan. Namun dari dalam rumah, Guru Martin agak menolak. “Besok saja. Ini sudah larut malam, hampung!”

Hermanus tidak mau kehabisan akal sampai pintu dapat dibukakan Guru Martin. Ketika pintu sedikit terbuka, Guru Saman dengan keras mendorong pintu dan langsung menghunjamkan belatinya ke dada Guru Martin. Rintihan suara yang sempat memanggil, membuat istri Guru Martin terkejut dan keluar dari kamar. Klara pun meraung-raung dan berkali-kali bersujud agar tidak ikut dibunuh. Namun Guru Saman terpaksa membunuhnya juga karena dorongan Hermanus dan dua adiknya.

Pembunuhan Guru Martin dan istrinya sungguh menyedihkan. Namun orang-orang Sipahutar tidak lama mengetahui orang-orang yang melakukan pembunuhan itu. Polisi dari Tarutung segera mengusut dan menghadapkan saksi-saksi pembunuhan di hadapan pengadilan. Salah satu saksi itu adalah Jakobus, si pemilik kedai yang sering terancam dan diperas Guru Saman dan Hermanus.

“Menurutku, inilah kesempatan menghukum Guru Saman. Lebih baik dia direndam ke dalam tong yang berisi air yang mendidih. Biarkan dia di situ mati!” Begitulah Jakobus memuaskan rasa dendamnya kepada Guru Saman. Namun pengadilan memutuskan Guru Saman harus dihukum gantung. Sebelum dihukum gantung sempat Guru Saman diberi kesempatan menyampaikan pesan terakhirnya.

“Sejak kecil semua permintaanku harus dipenuhi orangtuaku. Karena itulah aku selalu meraja lela. Kuharapkan agar orangtua tidak lagi mendidik anaknya seperti aku. Aku siap dihukum gantung dengan segala kesalahanku.”

Hukuman gantung itu berlangsung tanpa diketahui Hermanus serta adik-adiknya karena mereka sudah lebih dulu dimasukkan ke dalam penjara dengan masa hukuman yang berbeda-beda.

“Guru Saman sudah maaatiii……!”