Ragam Ulos Batak

Ulos JUGIA


Ulos ini disebut juga "Ulos na so ra pipot" atau pinunsaan. Ulos ini biasa dipakai oleh Bapak-bapak. Pada waktu terakhir ini, banyak kita lihat bahwa ulos ini disamperkan kepada orangtua pengantin laki-laki yang disebut sebagai Ulos Pansamot. Ulos Pansamot ini ada juga yang memberikan dari jenis ulos Sibolang maupun dari jenis ulos Ragihotang sesuai dengan kemampuan yang tersedia. Jenis Ulos Jugia ini menurut keyakinan Orang Batak tidak dapat dipakai sembarang orang, kecuali oleh orang yang sudah Saur Matua, yaitu semua anak laki-laki dan perempuan sudah kawin dari semua anaknya itu telah mempunyai cucu. Hanya orang yang demikianlah yang disebut "Na Gabe" yang berhak memakai ulos ini. Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau masih ada yang belum inendapat keturunan, walaupun telah mempunyai cucu-cucu dari anak laki-laki dan perempuan lainnya yang telah kawin, belum bisa digolongkan sama dengan tingkatan Saur Matua.

Beratnya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos ini merupakan benda langka hingga banyak orang Batak yang tidak mengenalnya. Ulos ini sering merupakan barang warisan orangtua kepada anaknya dan nilainya sama dengan sitompi (emas yang dipakai oleh isteri raja-raja pada waktu pesta).


Ulos RAGIDUP


Ulos ini setingkat di bawah Ulos Jugia. Banyak orang beranggapan Ulos Ragiduplah yang paling tinggi nilainya oleh sebab memang dilihat dari bentuk (motifnya), lebarnya cara penenunannya yang sangat rapi dan teratur, sangat nyata perbedaannya dari ulos-ulos yang lain. Dan memang cara penenunan ulos Ragidup ini sangat sulit, harus teliti sekali, dan hanya dipercayakan pada penenun yang telah cukup banyak mempunyai pengalaman dalam tenun-menenun. Ulos Ragidup sebenamya terdiri dari 5 (lima), bagian yang ditenun secara terpisah-pisah baru kemudian disatukan (diihot) dengan rapi hingga jadi bentuk satu Ulos.

Ada dua sisi Ulos ini sebelah kiri dan sebelah kanan disebut ambi. Bagian tengah ada 3 bagian, di pinggir atas dan pinggir bawah yang disebut "Kepala Ulos", yang hampir mirip bentuknya, tetapi tidak sama benar, disebut namanya "Tinorpa", dan bagian tengahnya merupakan "Badan Ulos", yang disebut "Tor". Penenunan ke lima bagian tersebut dilakukan dengan sangat cermat sekali. Oleh sebab semua motifnya memberikan arti

tersendiri. Oleh sebab itu pada waktu memesan Ulos Ragidup yang berkepentingan perlu menjelaskan maksud penggunaan ulos tersebut atau bilamana hendak membeli yang sudah ada, maka motif-motif ulos tersebut diperiksa secara teliti.

Dahulu kala untuk mempersiapkan penenunan Ulos Ragidup ini sering dilakukan cara gotong-royong oleh 5 orang, masing-masing satu bagian seperti dijelaskan di atas dengan tetap mengindahkan keahlian dan keterampilan 5 orang penenun tersebut. Ulos Ragidup dapat dipakai untuk berbagai keperluan, baik untuk acara dukacita maupun pada acara sukacita, juga dapat dipakai oieh Raja-raja Adat, orang berada, maupun oleh Rakyat biasa, selama memenuhi beberapa pedoman, misalnya diberikan sebagai Ulos Pargomgom, ada juga diberikan sebagai Ulos Pansamot pada acara pesta perkawinan, atau diberikan sebagai Ulos Panggabei pada waktu orangtua meninggal dunia yang telah mencapai satu tingkat hagabeon tertentu, hal-hal mana akan diterangkan lebih jauh nanti. Dalam satu pesta perkawinan ada juga Suhut Sihabolonan yang menyandang Ulos Ragidup, dengan demikian para tamu dapat terus mengenal dan me

mbedakannya dari hasuhuton lainnya yang juga memakai Ulos, tetapi bukan lagi Ulos Ragidup tetapi misalnya Ulos Sibolang, Ragi Hotang dan lain-lain. Seperti kita ketahui dalam setiap upacara adat misalnya pada pesta perkawinan maka landasannya adalah Dalihan Natolu. Maka dalam acara adat tersebut yang menjadi hasuhuton adalah Suhut Sihabolonan bersama-sama Dongan Tubunya sebab dalam kekeluargaan Suku Batak,

kelompok satu marga (Dongan Tubu) adalah "Sisada raga, somba", terhadap kelompok marga lain.

Namun demikian ada pepatah Batak yang mengatakan:

Martanda do Suhut, Marbona sangkalan

Marnata do suhut, Marnampuna Ugasan

Yang dapat diartikan, walaupun pesta itu adalah untuk kepentingan dan atas nama bersama, dimana semua Dongan Tubu berhak tampil dan bersuara dan juga ikut sebagai pengundang, malahan yang menonjol dalam pengurusan dan sebagai Raja Parhata (Parsinabul) adalah dari Dongan Tubu, akan tetapi

kedudukannya dari Suhut Sihabolonan tetap dihargai dan dalam hal-hal tertentu tetap mempunyai hak untuk memberi kata akhir. Oleh sebab itu dengan memakai Ulos Ragidup dapat dengan jelas diketahui oleh para hadirin yang menjadi Suhut Sihabolonan.


Ulos RAGI HOTANG


Dahulu pada jaman Nenek Moyang kita pernah pula Ulos ini diberikan kepada sepasang penganten yang disebut sebagai Ulos Hela. Dengan pemberian Ulos ini dimaksudkan agar ikatan lahir dan batin kedua penganten dapat teguh seperti ikatan rotan (hotang). Tetapi belakangan ini telah banyak, kita lihat bahwa Ulos ini dipergunakan adalah sebagai Ulos Holong. Sehingga ramai-ramailah kerabat keluarga yang menyampaikannya kepada kedua pengantin pada acara pesta perkawinan tersebut.

Pada acara-acara pesta yang lain pun Ulos ini telah banyak dipergunakan umpama, pesta baptisan anak-anak, pesta anak sidi (manghatindangkon haporseaon) disampaikan kepada Boru, Bere, Ibebere dan cucu sebagai tanda turut merasa gembira dan mengucapkan doa syukuran terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Untuk upacara penyambutan tamu-tamu untuk ini muda-muda kita dapat dipersiapkan lengkap memakai Handehande dan Hobahoba dari jenis Ulos Ragi Hotang, sangatlah menarik dan semarak nampaknya. Juga Ulos ini dapat diberikan pada acara mangupaupa dan pesta lain pada acara gembira yaitu pesta-pesta gembira-ria.


Ulos SADUM


Ulos ini penuh dengan warna-warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai dan dipergunakan untuk suasana sukacita dan banyak orang yang ingin memiliki. Pada akhir-akhir ini kita perhatikan sesuai dengan permintaan penganten pada acara pesta perkawinannya sudah banyak orangtua memberikan Ulos Sadum ini sebagai Ulos Hela. Cara pemberiannya kepada kedua penganten ialah disampirkannya dari sebelah kanan pengantin laki-laki setinggi bahu terus sampai ke sebelah kiri pengantin perempuan. Ujung sebelah kanan dipegang oleh tangan kanan pengantin laki-laki dan ujung

sebelah kiri dipegang dengan tangan kiri oleh pengantin perempuan lalu disatukan dimuka penganten itu seperti terikat. Dan seterusnya oleh Ibu Penganten perempuan tersebut disampirkanlah 1 (satu) helai kain sarung (mandar) ke atas pundak penganten lelaki Helanya itu.

Begitu indahnya Ulos Sadum itu sehingga sering dipakai Ulos kenang-kenangan diberi kepada pejabat-pejabat yang berkunjung ke Daerah. Baik tamu dalam negeri mapun tamu dari manca Negara. Mereka sangat bangga menerima Ulos yang disematkan di bahunya karena benar-benar merasakan bahwa pemberian ulos tersebut merupakan suatu penghormatan baginya.


Ulos RUNJAT

Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang bepergian pada menghadiri pesta-pesta atau sebagai undangan. Ulos ini dapat juga diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat menurut tohonan Dalihan Natolu diluar hasuhuton Bolon, misalnya Tulang, Pariban, dan Pamarai.

Juga Ulos ini dapat diberikan pada waktu acara mangupaupa dan pesta-pesta lain. Kelima jenis ulos yang disebut di atas adalah merupakan Ulos simpanan, yang hanya kelihatan pada waktu tertentu saja. Karena Ulos ini jarang dipakai, hingga tidak perlu dicuci biasanya cukup dijemur pada siang hari.


Ulos SIBOLANG


Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan pada acara untuk keperluan dukacita dan sukacita. Untuk keperluan dukacita biasanya dipilih dari jenisyang warna hitamnya menonjol, sedang bila dalam peristiwa sukacita dipilih dari jenis yang warna putihnya menonjol. Dalam peristiwa dukacita Ulos ini paling banyak dipergunakan orang misalnya untuk Ulos Saurmatua, Ulos sampesampe, harus dipakai dari Ulos ini, tidak boleh dari jenis Ulos yang lain.

Dalam upacara perkawinan ulos ini biasa dipakai sebagai tutup ni ampang dan bisa disandang sebagai Handehande, tetapi harus dipilih dari jenis yang warna putihnya agak menonjol. Inilah yang disebut sibolang "Pamontari". Karena Ulos ini dapat dipakai untuk beberapa keperluan adat maka ulos ini terlihat

paling banyak dipakai dalam upacara adat, hingga dapat dikatakan "memasyarakat".

Harganya juga relatif murah sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat banyak. Hanya saja ulos ini tidak biasa dipakai sebagai ulos pangupa atau ulos parompa.


Ulos SURISURI GANJANG

Ulos ini dinamai Ulos surisuri Ganjang karena raginya berbentuk sisir memanjang. Ulos ini dapat diberikan sebagai ulos Hela kepada pengantin baru. Dahulu Ulos ini sebagai sampesampe/handehande. Pada waktu acara menari dalam hal memukul gendang, ulos ini dipergunakan oleh pihak Hulahula untuk manggabei (mangolopi) pihak borunya. Karena itu Ulos ini sering juga disebut Ulos sabesabe.

Ada istimewanya ulos ini yaitu karena panjangnya melebihi Ulos biasa, hingga bisa dipakai sebagai sampesampe, bila dipakai dua lilit pada bahu kiri dan kanan, sehingga kelihatan si pemakai layaknya

memakai 2 buah ulos. Ada pula ulos ini dipakai sebagai ulos parompa sebagai simbol agar mencapai kesehatan dan mencapai umur yang panjang hendaknya.


Ulos MANGIRING


Ulos ini mempunyai ragi yang saling iring mengiringi, melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Sering diberikan oleh seorang tua, sebagai ulos parompa kepada cucunya agar seiring dengan pemberian

ulos ini kelak agar lahir adik-adiknya beriringan anak laki-laki dan anak perempuan sebagai temannya seiring dan sejalan.

Sebagai pakaian sehari-hari ulos ini dapat dipakai sebagai talitali (detar) untuk laki-laki dan untuk wanita disebut saong atau tudung. Pada waktu upacara mampe goar ulos ini dapat pula dipakai sebagai bulangbulang diberikan oleh pihak hula hula kepada menantunya.



Ulos BINTANG MARATUR


Ragi ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang ini menggambarkan orang yang patuh rukun seia dan sekata dalam ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal sinadongan (kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan) tidak ada yang timpang baik dalam hak hagabeon (banyak keturunan) anak laki-laki dan perempuan. Semuanya berada dalam tingkatan rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari bahwa hulahula yang berkompeten menyampaikan "Ulos Mula Gabe" kepada borunya yang akan melahirkan anaknya yang pertama. Tujuan pemberian ulos ini adalah menunjukkan rasa kasih sayang orangtua kepada borunya, dalam rangka membangkitkan semangat hidup dan rasa percaya diri kepada borunya dalam persalinannya yang akan datang.

Untuk acara adat yang berkaitan dengan hal di atas biasa disampaikan oleh Hulahula ulos yang diberi nama "Ulos Mula Gabe" ini dari jenis Ulos Bintang Maratur. Disertai doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmatNya dikaruniakan hendaknya kelahiran anak laki-laki dan perempuan secara teratur kepada borunya. Selanjutnya pada acara adat mampe goar untuk anak yang sulung itu harus diberi dari ulos jenis Bintang Maratur.

Ulos SITOLUNTUHO

Ulos ini dapat dipakai sebagai Ulos Parompa yang diberikan kepada seorang cucu yang baru lahir. Ada pula yang memakai ulos ini sebagai ikat kepala yang disebut namanya tali tali dan oleh wanita ada pula yang memakainya untuk selendang atau handehande. Jenis ulos ini dapat dipakai sebagai tambahan yang dalam istilah adat Batak dikatakan sebagai Ulos Panoropi yang diberikan oleh pihak hulahula kepada pihak boru yang sudah terhitung keluarga jauh. Disebut, sitoluntuho karena raginya berjejer tiga merupakan tuho atau tugal yang biasa dipakai untuk melobang tanah untuk ditanami.


Ulos JUNGKIT

Ulos jenis ini juga disebut ulos na nidongdang atau ulos purada. Purada atau permata merupakan penghias dari ulos tersebut sehingga cantik kelihatannya. Dahulu ulos ini dipakai oleh para anak gadis dari keluarga raja-raja merupakan hoba hoba yang dipakai hingga batas dada. Juga dipakai pada waktu menerima pembesar atau pejabat-pejabat atau waktu pesta yang beragam-ragam.

Pada masa-masa terakhir ini permata yang disebut di atas telah jarang diperdagangkan, maka bentuk permata dari ragi ulos tersebut diganti dengan cara "manjungkit" benang ulos tersebut. Maka disebut nama ulos ini ulos jungkit.


Ulos LOBU LOBU

Masih ada lagi jenis Ulos Batak yang lain, tetapi yang sudah jarang sekali kelihatan dan jarang dipakai dalam acara-acara adat biasa, misalnya Ulos Lobu Lobu yang mempunyai keperluan khusus untuk orang yang sering dirundung kemalangan. Oleh sebab itulah ulos ini jarang sekali sehingga banyak orang tidak mengenalnya lagi.

Ada keistimewaan ulos ini, yaitu sesudah selesai ditenun, rambu dari ulos ini tidak dipotong, dibiarkan saja demikian sebagaimana adanya. Tujuannya supaya baik dipakai sebagai kain sarung, dan bila dipakai sebagai ulos parompa agar anak yang digendong tak mudah jatuh dari gendongan tersebut.

Dinamai ulos lobu lobu (lobu = masuk) agar hal yang terbaik masuk ke dalam rumah pemakainya.

Ulos Lain-lain Sekedar untuk mengetahuinya, dibawah ini disebut beberapa jenis Ulos Batak lainnya:

  • Ragi Panei

  • Ragi Hatirongga

  • Ragi Ambasang

  • Ragi Sidosdos

  • Ragi Sampuboma

  • Ragi Siantar

  • Ragi Sapot

  • Ragi Siimput ni hirik

  • Uos Bolean

  • Ulos Padang rusa

  • Ulos Simata

  • Ulos Happu

  • Ulos Tukku

  • Ulos Lobu-lobu

  • Dan lain-lain.

Asal Mula Danau Si Losung Dan Si Pinggan

Alkisah, pada zaman dahulu di daerah Silahan, Tapanuli Utara, hiduplah sepasang suami-istri yang memiliki dua orang anak laki-laki. Yang sulung bernama Datu Dalu, sedangkan yang bungsu bernama Sangmaima. Ayah mereka adalah seorang ahli pengobatan dan jago silat. Sang Ayah ingin kedua anaknya itu mewarisi keahlian yang dimilikinya. Oleh karena itu, ia sangat tekun mengajari mereka cara meramu obat dan bermain silat sejak masih kecil, hingga akhirnya mereka tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan pandai mengobati berbagai macam penyakit.

Pada suatu hari, ayah dan ibu mereka pergi ke hutan untuk mencari tumbuhan obat-obatan. Akan tetapi saat hari sudah menjelang sore, sepasang suami-istri itu belum juga kembali. Akhirnya, Datu Dalu dan adiknya memutuskan untuk mencari kedua orang tua mereka. Sesampainya di hutan, mereka menemukan kedua orang tua mereka telah tewas diterkam harimau.

Dengan sekuat tenaga, kedua abang-adik itu membopong orang tua mereka pulang ke rumah. Usai acara penguburan, ketika hendak membagi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, keduanya baru menyadari bahwa orang tua mereka tidak memiliki harta benda, kecuali sebuah tombak pusaka. Menurut adat yang berlaku di daerah itu, apabila orang tua meninggal, maka tombak pusaka jatuh kepada anak sulung. Sesuai hukum adat tersebut, tombak pusaka itu diberikan kepada Datu Dalu, sebagai anak sulung.

Pada suatu hari, Sangmaima ingin meminjam tombak pusaka itu untuk berburu babi di hutan. Ia pun meminta ijin kepada abangnya.

“Bang, bolehkah aku pinjam tombak pusaka itu?”

“Untuk keperluan apa, Dik?”

“Aku ingin berburu babi hutan.”

“Aku bersedia meminjamkan tombak itu, asalkan kamu sanggup menjaganya jangan sampai hilang.”

“Baiklah, Bang! Aku akan merawat dan menjaganya dengan baik.”

Setelah itu, berangkatlah Sangmaima ke hutan. Sesampainya di hutan, ia pun melihat seekor babi hutan yang sedang berjalan melintas di depannya. Tanpa berpikir panjang, dilemparkannya tombak pusaka itu ke arah binatang itu. “Duggg…!!!” Tombak pusaka itu tepat mengenai lambungnya. Sangmaima pun sangat senang, karena dikiranya babi hutan itu sudah roboh. Namun, apa yang terjadi? Ternyata babi hutan itu melarikan diri masuk ke dalam semak-semak.

“Wah, celaka! Tombak itu terbawa lari, aku harus mengambilnya kembali,” gumam Sangmaima dengan perasaan cemas.

Ia pun segera mengejar babi hutan itu, namun pengejarannya sia-sia. Ia hanya menemukan gagang tombaknya di semak-semak. Sementara mata tombaknya masih melekat pada lambung babi hutan yang melarikan diri itu. Sangmaima mulai panik.

“Waduh, gawat! Abangku pasti akan marah kepadaku jika mengetahui hal ini,” gumam Sangmaima.

Namun, babi hutan itu sudah melarikan diri masuk ke dalam hutan. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk kembali ke rumah dan memberitahukan hal itu kepada Abangnya.

“Maaf, Bang! Aku tidak berhasil menjaga tombak pusaka milik Abang. Tombak itu terbawa lari oleh babi hutan,” lapor Sangmaima.

“Aku tidak mau tahu itu! Yang jelas kamu harus mengembalikan tombok itu, apa pun caranya,” kata Datu Dalu kepada adiknya dengan nada kesal.”

Baiklah, Bang! Hari ini juga aku akan mencarinya,” jawab Sangmaima.

“Sudah, jangan banyak bicara! Cepat berangkat!” perintah Datu Dalu.

Saat itu pula Sangmaima kembali ke hutan untuk mencari babi hutan itu. Pencariannya kali ini ia lakukan dengan sangat hati-hati. Ia menelesuri jejak kaki babi hutan itu hingga ke tengah hutan. Sesampainya di tengah hutan, ia menemukan sebuah lubang besar yang mirip seperti gua. Dengan hati-hati, ia menyurusi lubang itu sampai ke dalam. Alangkah terkejutnya Sangmaima, ternyata di dalam lubang itu ia menemukan sebuah istana yang sangat megah.

“Aduhai, indah sekali tempat ini,” ucap Sangmaima dengan takjub.

“Tapi, siapa pula pemilik istana ini?” tanyanya dalam hati.

Oleh karena penasaran, ia pun memberanikan diri masuk lebih dalam lagi. Tak jauh di depannya, terlihat seorang wanita cantik sedang tergeletak merintih kesakitan di atas pembaringannya. Ia kemudian menghampirinya, dan tampaklah sebuah mata tombak menempel di perut wanita cantik itu. “Sepertinya mata tombak itu milik Abangku,” kata Sangmaima dalam hati. Setelah itu, ia pun menyapa wanita cantik itu.

“Hai, gadis cantik! Siapa kamu?” tanya Sangmaima.

“Aku seorang putri raja yang berkuasa di istana ini.”

“Kenapa mata tombak itu berada di perutmu?”

“Sebenarnya babi hutan yang kamu tombak itu adalah penjelmaanku.”

“Maafkan aku, Putri! Sungguh aku tidak tahu hal itu.”

“Tidak apalah, Tuan! Semuanya sudah terlanjur. Kini aku hanya berharap Tuan bisa menyembuhkan lukaku.”

Berbekal ilmu pengobatan yang diperoleh dari ayahnya ketika masih hidup, Sangmaima mampu mengobati luka wanita itu dengan mudahnya. Setelah wanita itu sembuh dari sakitnya, ia pun berpamitan untuk mengembalikan mata tombak itu kepada abangnya.

Abangnya sangat gembira, karena tombak pusaka kesayangannya telah kembali ke tangannya. Untuk mewujudkan kegembiraan itu, ia pun mengadakan selamatan, yaitu pesta adat secara besar-besaran. Namun sayangnya, ia tidak mengundang adiknya, Sangmaima, dalam pesta tersebut. Hal itu membuat adiknya merasa tersinggung, sehingga adiknya memutuskan untuk mengadakan pesta sendiri di rumahnya dalam waktu yang bersamaan. Untuk memeriahkan pestanya, ia mengadakan pertunjukan dengan mendatangkan seorang wanita yang dihiasi dengan berbagai bulu burung, sehingga menyerupai seekor burung Ernga. Pada saat pesta dilangsungkan, banyak orang yang datang untuk melihat pertunjukkan itu.

Sementara itu, pesta yang dilangsungkan di rumah Datu Dalu sangat sepi oleh pengunjung. Setelah mengetahui adiknya juga melaksanakan pesta dan sangat ramai pengunjungnya, ia pun bermaksud meminjam pertunjukan itu untuk memikat para tamu agar mau datang ke pestanya.

“Adikku! Bolehkah aku pinjam pertunjukanmu itu?”

“Aku tidak keberatan meminjamkan pertunjukan ini, asalkan Abang bisa menjaga wanita burung Ernga ini jangan sampai hilang.”

“Baiklah, Adikku! Aku akan menjaganya dengan baik.”

Setelah pestanya selesai, Sangmaima segera mengantar wanita burung Ernga itu ke rumah abangnya, lalu berpamitan pulang. Namun, ia tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan menyelinap dan bersembunyi di langit-langit rumah abangnya. Ia bermaksud menemui wanita burung Ernga itu secara sembunyi-sembunyi pada saat pesta abangnya selesai.

Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pada malam harinya, Sangmaima berhasil menemui wanita itu dan berkata:

“Hai, Wanita burung Ernga! Besok pagi-pagi sekali kau harus pergi dari sini tanpa sepengetahuan abangku, sehingga ia mengira kamu hilang.”

“Baiklah, Tuan!” jawab wanita itu.

Keesokan harinya, Datu Dalu sangat terkejut.

Wanita burung Ernga sudah tidak di kamarnya. Ia pun mulai cemas, karena tidak berhasil menjaga wanita burung Ernga itu. “Aduh, Gawat! Adikku pasti akan marah jika mengetahui hal ini,” gumam Datu Dalu. Namun, belum ia mencarinya, tiba-tiba adiknya sudah berada di depan rumahnya.

“Bang! Aku datang ingin membawa pulang wanita burung Ernga itu.

Di mana dia?” tanya Sangmaima pura-pura tidak tahu.

“Maaf Adikku! Aku telah lalai, tidak bisa menjaganya. Tiba-tiba saja dia menghilang dari kamarnya,” jawab Datu Dalu gugup.

“Abang harus menemukan burung itu,” seru Sangmaima.

“Dik! Bagaimana jika aku ganti dengan uang?” Datu Dalu menawarkan.

Sangmaima tidak bersedia menerima ganti rugi dengan bentuk apapun. Akhirnya pertengkaran pun terjadi, dan perkelahian antara adik dan abang itu tidak terelakkan lagi. Keduanya pun saling menyerang satu sama lain dengan jurus yang sama, sehingga perkelahian itu tampak seimbang, tidak ada yang kalah dan menang.

Datu Dalu kemudian mengambil lesung lalu dilemparkan ke arah adiknya. Namun sang Adik berhasil menghindar, sehingga lesung itu melayang tinggi dan jatuh di kampung Sangmaima. Tanpa diduga, tempat jatuhnya lesung itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah danau. Oleh masyarakat setempat, danau tersebut diberi nama Danau Si Losung.

Sementara itu, Sangmaima ingin membalas serangan abangnya. Ia pun mengambil piring lalu dilemparkan ke arah abangnya. Datu Dalu pun berhasil menghindar dari lemparan adiknya, sehingga piring itu jatuh di kampung Datu Dalu yang pada akhirnya juga menjadi sebuah danau yang disebut dengan Danau Si Pinggan.

Demikianlah cerita tentang asal-mula terjadinya Danau Si Losung dan Danau Si Pinggan di daerah Silahan, Kecamatan Lintong Ni Huta, Kabupaten Tapanuli Utara.

Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Ada dua pesan moral yang dapat diambil sebagai pelajaran, yaitu agar tidak bersifat curang dan egois.

- sifat curang. Sifat ini tercermin pada sifat Sangmaima yang telah menipu abangnya dengan menyuruh wanita burung Ernga pergi dari rumah abangnya secara sembunyi-sembunyi, sehingga abangnya mengira wanita burung Ernga itu hilang. Dengan demikian, abangnya akan merasa bersalah kepadanya.

- sifat egois. Sifat ini tercermin pada perilaku Sangmaima yang tidak mau memaafkan abangnya dan tidak bersedia menerima ganti rugi dalam bentuk apapun dari abangnya.

note: Ernga - kumbang hijau yang menyerupai burung, yang sangat nyaring suaranya ketika menjerit pada waktu maghrib.

Takut Preman....?

Jakarta - Anda menjadi korban preman atau kapak merah? Jika iya, Anda bisa langsung mengontak kapolda dan kapolres setempat.

Ajakan ini dilontarkan Kabareskrim Mabes Polri Irjen Pol Susno Duaji
dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Selasa (4/11/2008).

Jika menjadi korban preman, Anda bisa mengontak:

Kapolda Jawa Timur 0812.1030.086.
Kapolda DIY 0812.3876.159.
Kapolwiltabes Semarang 0812.710.7771.
Kapolwiltabes Surabaya 0811.611.980.
Kapoltabes Yogyakarta 0815.7741415
Kapoltabes Medan 0812.64920007.
Kapolres Jakarta Pusat 0811.902355
Kapolres Jakarta Selatan 0812.111.8686
Kapolres Jakarta Timur 081.222.12212
Kapolres Jakarta Barat 0813.111.97777
Kapolres Jakarta Utara 0811.844321
Kapolres Bekasi 0817.0868686
Petugas KP3 Bandara Soekarno-Hatta 0811.854.170
Kapolres Depok 0812.303.9065.
Kapolres Bekasi Kabupaten 0812.123.8989
Kapolres Tangerang Kabupaten 021.93. 778989.
Kapolres Tangerang 0815.1111.8778
Kapolres KP3 Tanjung Priok 0811.891213.
Kapolres Kepulauan Seribu 0818.617171

Menurut Susno, operasi pemberantasan kejahatan jalanan ini digelar sejak 2 November 2008 hingga masyarakat aman. Sasaran mulai dari preman, kampak merah, parkir liar, hingga debt collector.

“Kalau masyarakat merasa aman, operasi tetap tidak akan berhenti sampai preman tidak ada,” cetus Susno.

Bagaimana jika aparat tidak merespon? “Silakan hubungi Direktorat I Keamanan Transnasional Bareskrim Mabes Polri nomor 021.721.8941 dan bisa langsung ke Kabareskrim 0815.977.1977,” kata Susno.

Dikatakan dia, pejabat di wilayah akan diminta pertanggungjawaban.

“Apabila ada kapolres yang tidak merespon, tolong ditulis besar-besar. Apabila kapolres marah laporkan karena berarti dia bekerjasama dengan preman,” papar dia.